Out-World-Er

54 3 0
                                    

    Out-World-Er   
Theme : Isekai | By : Azza_Fatime


🌐🌐🌐

“Aku tidak tahu.”

Suaraku mengatakannya setipis bisikan. Hanya gumam yang tak berarti. Namun, aku menyesal membiarkan gumam itu keluar dengan sendirinya, saat kulihat telinga panjang Klou berkedut padaku. Pemuda elf itu mendengarku, dan dia tidak akan melepaskan hal ganjil sekecil apa pun.

“Apa maksudmu, Laibri?” Klou bertanya seketika. Langkah jenjangnya menyebrangi ruangan rapat, membabat jarak dari kusinya di ujung meja persegi panjang sebagai ketua, menuju kursiku yang berada di ujung pojok menempel tembok—dalam sekejap mata.

“Klou!” seru Kanari, merangsek dari kursinya. Jelas merasakan panik yang sama denganku, bahkan mungkin lebih, karena kabut kegelapan yang melayang di sekitar tubuh gadis peri elemen itu berputar-putar rancak.

“Ada apa, Kanari? Seharusnya kau yang paling mendengar perkataan Laibri tadi.”

“Ya, aku dengar. Tapi kau harus berhenti mempermasalahkan setiap hal-hal kecil!"

“Hal-hal kecil?” desis Klou dingin, telunjuknya teracung padaku seluruh todongan tombak. “Laibri diam-diam menjawab tidak tahu ketika aku menyerukan sumpah kita semua untuk membela Phantasmia!”

Itu mematikan pembelaan Kanari, membakar bermacam reaksi semua anggota rapat.

Begitu saja, dan Klou mengukungku dengan matanya yang terkenal dapat menembus topeng semua pengkhianat.

“Hati dan mati kami hanya demi Phantasmia ini.”

Suara rendah Klou menggema untukku.

“Aku tahu sumpah ini terlalu kuno. Tapi, alih-alih menjawab aku tahu dan taat, kenapa kau menjawab aku tidak tahu—Laibri?”

Kepalaku kosong melompong.

“Laibri!”

Suara Klou memecahkannya berkeping-keping.

“Aku tidak tahu!” pekikku parau. “Aku benar-benar tidak tahu apa pun! Kau dengar aku?”

“Laibri, tenanglah!”

“Apa maksudmu—?”

Dan aku memuntahkannya.

“Aku bahkan tidak tahu mana dunia asalku! Bagaimana bisa aku memutuskan akan mati membela yang mana?!”

***

Bukan berarti Bumi dan Phantasmia sedang berperang, tidak. Hanya saja—karena dua dunia itu diibaratkan saling berhubungan—setiap periode tertentu, batas keseimbangan di antaranya akan melapuk menjadi kekacauan.

Pertanda kekacauan itu hampir menyenangkan, bahkan tidak asing lagi di Bumi; fenomena isekai. Manusia pun sudah tidak usah mati tertabrak truk dulu.

Aku adalah salah satunya. Aku berasal dari Bumi, seorang gadis remaja SMA, hidup di Bumi. Sampai hari itu, seusai ulangan Matematika yang kupasrahkan saja  jadi yang paling pertama menyerahkan kertas jawaban, aku kabur demi menumpang tidur di UKS. Ketika membuka mata, kudapati diriku sudah berpindah kasur ... dan dunia. Ke Phantasmia, dunia di mana materi trigonometri terganti sihir fantasi, serta kedamaian dipertaruhkan perang berkelanjutan melawan kekacauan.

Selama ini, begitulah yang kuyakini.

“Kau memang tidak tahu, bukan?”

Suara itu menusuk langsung di dalam kepalaku, bergelombang dengan pening singkat, sebelum berdenyar seperti pancuran air dari keran yang menghantam lantai. Sihir telepati Nona Iluven. Penyihir terbaik yang berakhir menjadi penyeduh kopi di kedainya itu mengulangi pertanyaan, atau pernyataannya, yang begitu kutakuti.

“Mana yang merupakan dunia nyata dan dunia lain bagimu, Laibri?”
Andai terlambat kutahan diri, kepalan tanganku pasti sudah memecahkan kaca jendela dari kamar kurungan sementara ini. Di luar sana bukanlah pemandangan kota yang sedang dipenuhi lalu-lalang para pedagang, seperti yang seharusnya—melainkan panorama sebuah medan perang yang sedang berlangsung. Langit di sana semerah darah, bertanah tandus, dan penuh bayang-bayang maut. Senjata-senjata magis beradu dengan tentakel tajam para monster kekacauan, sihir-sihir berjibaku dengan meriam bencana kebanggaan lawan.

Aku bisa mengenali beberapa teman-temanku di medan kejam itu. Kanari, sang peri, berada di dataran yang tinggi demi menguasai medan dengan kabut kegelapannya; Ruava, pemuda raksasa berkulit merah membara dengan godamnya; ada pula Chitha yang memelesat amat lincah, mencabik-cabik dengan wujud perubahan penuhnya yang memunculkan cakar, ekor dan telinga macan. Lalu ada Mazu, Lith, Fumlin ... mereka semua berjuang.

Sementara aku terenyak duduk di kursi beledu, menerawang jendela sihir yang dimantrai Kanari—satu-satunya yang memercayaiku meski tak berdaya meyakinkan agar aku jangan dikurung. Diam di sini dengan damai. Dengan hampa.
Karena semakin aku memikirkannya, aku semakin tidak tahu apa-apa.

“Bumi bukanlah dunia nyatamu, Laibri.”

Tempo hari di kedainya, aku bisa menolak mentah-mentah. Tetapi kini, kudapati diriku hampa. Tiba-tiba kepalaku dibanjiri banyak kenangan yang saling bertumpukan. Kuingat Mama dan Papa, orang tua paling protektif yang pernah ada—larangan ini-itu, tuntutan nilai sempurna, hadiah dan kasih sayang bersyarat dari mereka.

Namun, sekeping ingatanku berkata bahwa aku punya orang tua yang begitu perhatian. Seorang ibu yang pandai memanggang kue—padahal Mama benci oven. Seorang ayah yang menggendongku ke atas dahan pohon di bukit nan indah—padahal Papa cinta ruang tertutup. Aku pun mengingat teman masa kecilku, si kembar tak seiras; Alice dan Alex—selagi kuingat pula sayap indah Emilia si peri pelangi yang membuatku iri dulu sekali. Sekolahku adalah SMA Adiwira 01—tetapi kuingat namaku diundang masuk Akademi Sihir Teratai.

Tumpang tindih, segalanya bertumpukan gila dalam tengkorakku.

Dari mana ke mana aku berpindah dunia?

“Kau tidak tahu, antara Bumi dan Phantasmia—“

Entah sejak kapan, darah menetes dari tanganku, pada retak di permukaan kaca jendela.

“Sebenarnya, yang mana isekai bagiku?!”

Aku menjeritkannya. Ya, sia-sia. Kamar kurungan ini bersihir kedap suara. Tidak akan ada yang rugi bahkan kalau aku gila di sini, terbunuh ingatan yang bertumpukan dan entah mana yang benar—

“Semuanya benar, Laibri.”

Apa?

“Bumi bukanlah dunia nyatamu, tetapi Phantasmia juga bukan. Kau tidak berasal dari kedua dunia tersebut. Kau tidak berpindah dari satu dunia ke dunia satu lagi. Selama ini, kau berada di antaranya. Tepat di tengah. Hanya bergantian mengunjungi kedua dunia.”

Di antara Bumi dan Phantasmia—
Aku ... adalah jembatan yang menghubungkannya?

“Lebih tepatnya, kau adalah timbangan. Entitas yang tidak terikat waktu demi keseimbangan. Akulah yang berkali-kali mendampingimu. Dalam rentang usia tertentu wujud manusia, kau terus berganti dunia. Tidur adalah pengantarmu. Ketika berganti dunia, segala tentangmu lenyap dari dunia sebelumnya. Terhapus total, sehingga tiada yang merasa janggal dengan seorang gadis manusia bernama Laibri yang usianya tak pernah melebihi lima belas tahun.”

Seketika, kepalaku membenarkan segalanya.

Benar. Begitulah adanya.
Aku tidak akan pernah punya dunia untuk kembali atau pergi.
Apakah Bumi atau Phantasmia yang sebaiknya terkena dampak peperangan melawan kekacauan? Menang atau kalah, dampak itu tetap merembes ke dunia sebelah. Apakah Bumi atau Phantasmia yang harus kubela dengan hati dan matiku?
Selama ini, aku menjawabnya bergantian.

Satu kali Bumi, selanjutnya Phantasmia, lalu Bumi lagi.

“Kau tahu apa yang harus dilakukan, bukan, Laibri?”

Dan, kali ini—

“Aku tahu.”

[]

Jurusan Fantasi The WWGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang