Warung 20

48 3 0
                                    


"Makasih, ya, untuk malam ini," kata Lena  ketika hendak keluar dari mobil Diyo.

"Nggak kebalik apa? Gue yang harusnya berterima kasih."

"Oke deh, tapi gue seneng banget bisa ketemu sama Nyokap lo yang super duper nyenengin itu."

"Lebay, tapi Thank's. Mama orangnya emang welcome banget."

"Em, kalau gitu gue masuk rumah dulu, ya."

Diyo reflek mengulurkan tangannya seperti menghalangi gerakan Lena membuka pintu.

"Ada apa?" tanya Lena bingung.

Mengakui atau tidak. Namun, Diyo merasa bahwa Lena dapat melihat bahasa tubuhnya yang sedang gugup saat ini.

"Ngg, nggak pa-pa. Oke, selamat malam, Lena, have a nice dream. See you," ucap Diyo dengan suara yang sedikit ragu.

"Iya, see you too." Perempuan itu bergegas keluar dari mobil dan berjalan menuju rumah diringi satu tanda tanya yang berkelebat di kepalanya sebab sikap Diyo yang tak biasa begitu. Diyo yang ia kenal santai dan tenang bisa terlihat nervous.

Diyo menatap langkah Lena dengan penyesalan yang semakin bertumbuh seiring semakin menjauhnya sosok perempuan itu di matanya. Di depan pintu rumah, Lena melambaikan tangan pada Diyo. Diyo yang memaksakan diri untuk tersenyum membalas lambain tangan Lena. Dan hanya sepersekian detik setelah itu, bayangan Lena pun menghilang di balik pintu. Lelaki tersebut mengambil sesuatu di dasbor dan menggenggam sebuah kotak cincin dari dalam sana.

***

Selesai melakukan eksperimen di dapurnya, Mu'in berangkat membawa jajanan buatannya ke warung Lena. Mu'in biasanya pergi pagi-pagi sekali, tetapi hari ini ia bangun agak kesiangan.

Maklumlah, semalam ia ada lomba Marawis antar kecamatan dan kebetulan grupnya kebagian nomor peserta paling terakhir. Jadi, terpaksa Mu'in memulai segalanya dengan terburu-buru saat ini, tapi yang terpenting sekarang, kue buatannya sudah siap. Tinggal dititipkan saja di warung langganannya itu.

"Pagi, Lena," sapa Mu'in setibanya di warung Lena. Si pemilik warung yang sedang sibuk memindah-mindahkan siaran tv  menoleh ke arahnya.

"Pagi apanya? Udah siang tau, mata lo ketutupan belek, ya?" cerocos Lena.

"Enak aja, gue tuh udah cuci muka, udah mandi, pake sabun baru lagi, keciumkan wanginya?" elak Mu'in sambil mengepak ngepakkan ketiaknya.

Lena mengendus-enduskan hidung. "Ho'oh, beneran wangi, kayak kuburan baru," ledek perempuan itu disertai tawa mirip pemeran antagonis.

"Sembarangan lo kalau ngomong. Udah, ah, basa-basinya, gue ke sini bukannya mau dihina, tapi mau bisnis, you know? Bisnis!"

"Iya-iya gue tau kok. Nah, lo bawa apaan sekarang?"

Mu'in segera meletakkan box kuenya di atas etalase. "Lo dengerin ini baik-baik. Hari ini, gue bawa kue yang bentuknya bulat-bulat."

Lena menganggukkan kepala dan mendengarkan penjelasan Mu'in secara saksama. "Bulat-bulat," katanya sambil mengikuti ucapan Mu'in.

"Rasanya manis."

"Oke, rasanya manis," kata Lena lagi masih mengikuti laki-laki yang katanya pedagang kue itu.

"Dan warnanya kuning."

"Warnanya kuning ...," sejenak Lena menyadari sesuatu, "tunggu-tunggu. Lo sebenarnya bawa kue, apa ngasih gue tebak-tebakan sih?"

"Jelas kuelah, kalau gue kasih tebak-tebakan, sekalian aja gue bikin konten di youtube biar orang-orang pada nonton. Gue serius, gue beneran bawa kue, namanya kue nangka tapi buah," pungkas Mu'in. Namun, Lena yang mendengarnya malah tambah bingung.

"Kenapa nggak sekalian aja lo namain kue nangka tapi gudeg?"

Mu'in diam sebentar. "Awalnya sih gue juga mikirnya kayak gitu, tapi kedengarannya kurang pas."

Lena memutar bola matanya tampak mulai gerah. "Yaudah, terserah apa kata lo dah. Lo mau jual berapa satunya?"

"Seperti biasanya aja."

"Oke."

"Kalau gitu gue pamit dulu, ya."

"He'em." Lena kembali ke kursinya begitu Mu'in telah berlalu dan melanjutkan aktivitas sebelumnya.

Tak lama selepas Mu'in pergi, ada lagi seseorang yang datang ke warung Lena. Bukan Ira seperti biasa, melainkan sosok lelaki yang akhir-akhir ini jarang muncul, dan tak lain adalah Rendra. Lelaki itu terlihat lebih keren. Bahkan lebih glowing. Mungkin aktivitasnya yang sekarang jarang berada di luar ruangan membuatnya seperti itu.

"Hei, Len."

"Hei ...," untuk beberapa detik, pandangan Lena terlihat takjub melihat kehadiran Rendra, "Rendra, ke mana aja baru nongol, abis jadi buronan lo, ya?" tanya Lena asal. Rendra terkikik.

"Apaan sih lo. Kemarin itu kebetulan gue lagi banyak tugas dari dosen, biasalah. Makanya gue baru muncul, kenapa? Lo kangen sama gue?"

"Iihh, ge-er, orang cuma nanya doang. Terus kerjaan di kafe Ira gimana?"

"Ya, gue tetep usahain buat dateng. Sayang 'kan kalau sampai gue dipecat. Lagian cari kerjaan yang cocok buat kita kagak gampang."

"Bener banget, Ren. Gue setuju, lo emang harus kayak gitu. Gue 'kan tau passion lo emang nyanyi. Jadi, lo nggak boleh nyia-nyiain kesempatan ini."

Rendra mengangguk. "Yah, lo bener banget," katanya lalu tersenyum.

"Terus gimana hubungan lo sama Ira?" tanya Lena tiba-tiba sambil menggerak-gerakkan alisnya naik turun. Namun, senyum yang Rendra tunjukkan sejak tadi akhirnya perlahan menghilang.

"Baik," jawabnya singkat.

Mendadak wajah Lena berubah datar. Tak puas dengan jawaban tersebut. "Iih, maksud gue bukan itu, Ren. Ya ampun, lo sebenarnya beneran nggak peka atau pura-pura sih?" sembur Lena. Rendra malah garuk-garuk kepala.

"Kalau maksud lo tentang hubungan yang ke arah sana ...." Rendra menggeleng untuk memberi jawaban yang Lena tunggu, "gue bukannya nggak peka, Len. Gue paham, tapi gue cuma belum bisa ngelupain cinta gue yang dulu. Hingga detik ini belum ada seorang pun yang dapat ngegantiin lo di hati gue, tapi gue juga berusaha agar suatu saat nanti gue bisa lupain perasaan ini. Gue sedang belajar mati-matian buat ngelupain lo, meski gue tau ini nggak akan mudah buat gue." Rendra membuang napas panjang.

"Kata-kata lo itu membuat gue menjadi seorang perempuan terbahagia sekaligus terbodoh di dunia ini."

"Kenapa begitu?"

"Karna gue yang kayak gini ternyata disukai sama cowok sekeren lo, tapi gue malah nolak lo sementara mungkin banyak cewek di luaran sana yang pengen banget jadian sama lo."

"Lo bisa aja. Siapa juga yang mau sama cowok kere kayak gue?"

"Secara finansial lo itu emang gembel," kata Lena, membuat Rendra nyengir. Perkataan Lena memang tidak salah, tapi kok terdengar agak menyakitkan, ya. "tapi lo punya tampang keren, lo juga punya karisma yang bisa ngeluluhin hati para cewek dengan mudah."

"Lebay."

"Gue nggak lebay. Emang gitu kok faktanya."

"Kalau omongan lo emang benar, gue tetep aja nggak seneng."

Lena mengerutkan dahi. "kenapa?"

"Ya, buat apa gue punya fakta seperti yang lo omongin tadi kalau gue aja nggak bisa dapetin hati seseorang yang gue mau."

"Ren ...." Lena lalu menggenggam tangan Rendra, "jujur gue sayang banget sama lo. Sayang sebagai sahabat, sebagai Abang. Meski di hati gue nggak ada kata 'gue suka sama lo', tapi lo bakal tetep menjadi salah satu orang terspesial buat gue."

"Asal bisa selalu deket lo, jadi apa pun gue mau kok."

"Jadi bantal gue?" tanya Lena mulai jahil lagi.

"Ogah, entar lo ilerin gue."

Lena  tertawa ngakak kemudian merentangkan kedua tangannya. Rendra berjalan menghampiri Lena, lalu memeluknya erat tanpa sadar Ira sedang berdiri tak jauh dari mereka.




Bersambung ***

Hanya Kumpulan CerpenOù les histoires vivent. Découvrez maintenant