Warung 4

138 5 0
                                    


Rendra terbaring di kasur tipisnya sambil menerawang. Ia mengingat kejadian tiga bulan lalu saat mengenal sosok Lena yang ramah pertama kali. Saat itu, adalah hari di mana dia baru saja memulai menjadi seorang pengamen demi membantu kedua orang tuanya melunasi angsuran biaya kuliah yang telah menunggak.

Dan jadilah ia menjalani profesi sebagai pengamen. Lagipula, tak ada pilihan lagi yang bisa ia lakukan selain 'menjual ' suaranya di pinggir jalan.

Akhirnya ia mesti pintar-pintar mengatur antara waktu kuliah dan waktu mencari uang. Dengan demikian, saat masuk kuliah di pagi hari, itu berarti Rendra baru akan mulai mengamen siang nanti. Begitu juga jika masuk siang, maka ia akan ngamen lebih awal dari biasanya. Nah, seperti itulah hari-hari baru yang Rendra jalani sekarang.

Banyak orang yang mengatakan, terkadang ketika akan memulai sesuatu, pasti rintangan di depan kita sudah mengantre untuk menjadi penghambat. Seperti itu pula yang Rendra rasakan di awal karirnya sebagai seorang pengamen.

Penghasilan seorang pengamen yang sudah tak seberapa tiba-tiba saja raib di tengah jalan. Rendra dicegat oleh dua pria botak bertampang sangar. Salah satu pria botak itu dengan cepat merampas secara paksa uang di tangan Rendra yang dibungkus bekas kemasan sebuah makanan ringan. Meski Rendra sudah berusaha berkelit dan memohon-mohon dengan tampang memelas. Namun dua pria bergaya preman tersebut pada dasarnya memang tidak memiliki hati, sehingga setelah berhasil mendapatkan apa yang mereka inginkan, mereka akhirnya berlalu begitu saja tanpa rasa bersalah sedikit pun.

Rendra menunduk lesu. Ia berjalan, tapi tak siap untuk pulang dulu. Ia ingin menenangkan diri di suatu tempat. Di seberang jalan sana terdapat sebuah warung. Yah, bukan pemandangan asing lagi baginya tempat itu.

Meski sudah sering lewat di depan warung tersebut, Rendra tak pernah sekalipun datang ke sana sekadar menukar uang di sakunya dengan barang sederhana sekalipun dia mampu membelinya.

Di tengah cuaca yang amat panas, Rendra memutuskan untuk numpang berteduh di bawah pohon pemilik warung yang kebetulan juga menyediakan bangku kayu persegi panjang. Keadaan warung sedang tidak ramai. Hanya ada satu atau dua pelanggan yang datang dan pergi.

Rendra diam membisu, rasanya sudah cukup lama. Angin yang bertiup membuat rambut di puncak kepalanya bergerak-gerak.

"Rend-ra," ucap seorang perempuan yang tidak disadarinya dan entah sejak kapan berada di situ. Perempuan itu tepatnya sedang membaca stiker yang tertempel di bagian pinggir badan sebuah gitar milik Rendra.

"Nama lo Rendra, ya?"

Rendra sejenak terpaku pada sosok perempuan yang mengajaknya bicara.

"Nih, buat lo. Pasti lo haus 'kan? Udah sejam tau nggak gue liat lo di sini, tapi lo bengong aja. Ada masalah, ya? Kalau emang ada masalah, hadapin aja. Semua orang pasti bakal nemuin yang namanya masalah. Besar atau kecil, susah maupun mudah." Gadis itu menepuk bahu Rendra seakan sudah lama kenal, "cuma orang yang bermental baja yang bakal jadi pemenang," ucapnya terus nyerocos.

Tanpa rasa canggung ia duduk di samping lelaki yang diketahuinya bernama Rendra.

"Ayo diminum," pintanya dengan senyum bersahabat. Rendra mengangguk. Walau sedikit sungkan, ia pun meneguk sedikit demi sedikit teh botol yang disuguhkan.

"Oya! kenalin, gue Lena."

Rendra menyalami uluran tangan perempuan yang rupanya bernama Lena itu sambil memasang senyum yang sama bersahabatnya.

"Gue Rendra."

"Iya, gue udah tau kok dari tulisan stiker di gitar lo." Lena nyengir, "Eh, bentar. Ada pelanggan lagi tuh." usai menuntaskan kata-katanya, Lena segera beranjak memasuki warung.

Hanya Kumpulan CerpenWhere stories live. Discover now