Warung 7

112 2 0
                                    


Lena menitip warung ke mamanya sebelum pergi. Untung saja, dengan senang hati mama menggantikan pekerjaanya.

Saat sampai di tempat tujuan, ingatan Lena seperti terlempar di masa saat masih SD dulu. Kenangan manis dan menyedihkan silih berganti berkelebat di memori kepalanya. Di depan bangunan yang pernah menjadi tempatnya belajar enam tahun lamanya itu telah berubah banyak. Ada beberapa bangunan baru yang tampak kokoh di samping kiri-kanan dan belakang sekolah lamanya, terlihat lebih modern sekarang.

"Ayo, Len, kita ke aula, temen-temen yang lain pasti udah nunggu," ucap Ira. Lena mengangguk dan segera mengikuti sobatnya dari belakang. Suara tawa dan celoteh teman-temannya di dalam aula mulai terdengar. Lena jadi deg-degan lagi, tapi sekaligus senang. Di muka pintu sosok cowok tinggi menyambut mereka, Ira menatap cowok itu dengan takjub.

"Lena? Lo apa kabar?" tanya cowok itu.

"Baik." Lena tersenyum. Namun terlihat  bingung. Cowok berkemeja biru gelap itu langsung menyadari sesuatu lewat tampang aneh Lena. Sambil tertawa ia berkata,

"Gue Pasha, Pasha Leonardi." Lena menganga saking tak percaya, bahkan Ira juga tampak syok melihat penampilannya sekarang.

"Lo beda banget sekarang. Keren," puji Lena ketika rasa terkejutnya mulai terkendali.

"Thank's."

"Berarti lo masih ingat dong sama gue?" Pasha beralih pada Ira. Ia tersenyum miring.

"Inget dong. Lo 'kan dulu sering enek kalau liat gue. Dan cuman lo yang sering nyembunyiin lotion gue di tempat sampah."

Ira tersenyum malu. "Ya ampun, lo masih inget aja kejadian itu, tapi lo nggak dendam'kan sama gue?"

Pasha menggeleng, "Nggak sama sekali. Bagi gue itu cuma masa lalu. Udah yuk kita gabung ama yang lain," ajaknya. Ia berjalan di depan dan sesekali mengangkat tangan saat berpapasan dengan beberapa temannya. Ira menyikut lengan Lena kemudian berbisik,

"OMG, Len, gue nggak nyangka tadi itu Pasha temen kita yang dulu letoy banget. Gila! sekarang dia keren abisss."

Lena cekikikan. Diam-diam ia sama kagumnya dengan Ira. Ternyata sebuah pepatah yang mengatakan bahwa 'waktu dapat mengubah seseorang' memang terbukti kebenarannya.

"Halo, Ira, ya? Dan elo pasti Lena." Dua perempuan di depannya kompak menautkan alis. Ira ragu-ragu menerima uluran tangan cowok yang menyapanya saat ini, tapi karena tak ingin dicap sombong maka walau berat hati ia pun menjabat tangan cowok tersebut.

"Lo ...," ucap Ira menggantung masih ragu.

"Gue Pasha, Pasha Nugraha, inget'kan?" Ira melotot kaget, setelah itu ia tampak tertawa kecut.

"Lo makin cantik aja," kata Pasha pada Ira.

"Suit-suit," goda Lena. Ira mendelik sewot ke arah Lena. Pasha sendiri tampak cuek-cuek saja.

"Ohya, dulu kan lo pernah terang-terangan banget ngejar-ngejar gue, dan sekarang ...." Sebelum Pasha selesai bicara, Ira spontan menepuk jidat memotong inti pembicaraannya.

"Mmm, duh sori banget, ya, gue mau ketemu sama Yunita dulu, ada urusan. Yuk, Len, katanya lo juga ada perlu sama dia. Udah dulu ya, Pasha, entar kita lanjutin lagi ngobrolnya." Ira menarik tangan Lena pergi meninggalkan Pasha yang terbengong-bengong kayak patung. Mulutnya pun masih mangap.

"Bener dugaan gue. Reuni ini bener-bener penuh kejutan. Hanya saja, nggak sesuai harapan gue ...," cerocos Ira, "lo liat sendiri'kan dua Pasha yang kita temui kayak ketuker. Pasha Nugraha yang super imut waktu SD berubah jadi gitu, penuh jerawat, bintik-bintik item plus kawat gigi yang nggak banget warnanya. Di luar dugaan Pasha Leonardo yang letoy dan jelek waktu SD, sekarang jadi bak pangeran yang rupawan."

Lena diam tak menanggapi, ia lebih tertarik memandangi aneka makanan yang disajikan di meja berukuran besar itu.

"Makanan ini siapa yang mesen?"

"Ya gue lah. Eh gue juga ngundang band lo, Rendra juga, itung-itung buat hiburan," kata Ira bersemangat seolah melupakan sesuatu yang tadi membuatnya bete.

"Wuih, hebat! Ngabisin berapa duit tuh?"

"Halah, nggak penting! yang penting kita semua happy."

"Rendra belum datang?" tanya Lena celingukan.

"Nah tuh orangnya," tunjuk Ira ke arah lelaki berkaos hitam dibalut kemeja biru yang tidak dikancing serta celana jeans hitam dan gitar. Rendra melambai di tempat Lena dan Ira berdiri yang kontan langsung dibalas oleh mereka. Lelaki itu naik ke panggung kemudian mendekatkan mulutnya pada alat pengeras suara.

"Selamat siang semua?" sapa Rendra.

"Siaaang," jawab mereka yang hadir di situ hampir berbarengan.

"Seperti yang kalian semua liat, gue ke sini untuk menghibur kalian. Jadi, gue harap apa yang gue persembahkan nanti bakal ngebuat kalian terhibur, dan gue ucapin terima kasih karna diizinkan tampil di acara kalian. Untuk itu sekali lagi gue ucapin terima kasih."

Hening sesaat sampai akhirnya suara petikan musik gitar mulai mengalun lembut. Tak ada satu pun yang mengeluarkan suara. Mereka diam menatap sosok Rendra di atas panggung.

Mentari pagi yang cerah menyinari duniaku bersamamu. Terasa indahnya hari selama kau di sisiku, selagi kau menatapku manja. Aku bernyanyi mengikuti suara hatiku. Coba tuk ungkapkan rasa yang terdalam wahai cinta. Wouwoo.

Aku bahagia, kau adalah anugrah yang tercipta untuk kujaga, melindungi penuh cinta.

Bahagiamu adalah mimpiku yang semoga akan terwujud. Kaulah sahabat dan cintaku...

Tepuk tangan membahana. Rendra yang telah menyelesaikan lagunya turun dari panggung bergantian dengan sebuah band beranggotakan empat orang yang bersiap meramaikan acara. Tak berapa lama kemudian tabuhan drum dan gitar listrik beradu di atas sana. Sang vokalis melompat-mompat sebelum bernyanyi. Sebagian orang yang berdiri di dekat panggung ikut melompat-lompat mengikuti irama musik.

"Sumpah, dia keren banget. Siapa sih dia? Kenalan lo ya, Ra?" tanya cewek berponi bernama Anita.

"Iya dong. Awas ya, dia itu gebetan gue." Mendengar perkataan Ira barusan Anita jadi cemberut.

"Perasaan, cowok cakep yang lo kenal semua lo bilang gebetan. Curang!"

"Biarin, namanya juga usaha. Gue pengen dapatin pendamping yang sesuai dengan harapan gue."

"Ra, boleh dikenalin nggak sama kita kita?" kata teman Ira yang satunya lagi bernama Remi.

"Tapi lo nggak pake jampi-jampikan pas lo salaman?" Ira menatap curiga.

"Eh, lo kira gue dukun pelet. Ra, boleh ya?" rengek Remi.

"Kita liat entar deh," ucap Ira ogah-ogahan. Lena yang diam sejak tadi membuat Ira mau tidak mau berbalik menatap sahabatnya itu. Wajah Lena seperti gelisah, Ira jadi penasaran, kenapa sih dia?
"Hei, lo kenapa? sakit? Apa lagi nunggu seseorang?"

Lena terlihat gelagapan. "Ngg, nggak kok, gue nggak kenapa-napa."

"Jangan bohong, lo pasti lagi nyariin Boby, ya?" Ira mencolek dagu Lena sok tahu.

"Apaan sih, nggak kok." Lena menepis tangan sobatnya. Ira yang terlanjur jail tak cepat percaya.

"Masa? Kalau lo mau ketemu ama dia, dia ada kok di sana," tunjuk Ira pada Boby di depan meja tempat disediakan makanan bersama dua orang lainnya. Lena hanya melihat keberadaan cowok yang dimaksud Ira sekilas.

"Ra, gue keluar bentar ya, cari angin." Perempuan itu berjalan keluar aula.

"Ke mana?" Tidak ada jawaban. Punggung Lena menghilang dari balik pintu. Ira bergeming. Lena kenapa?




Bersambung....





Hanya Kumpulan CerpenWhere stories live. Discover now