10. "Dunia Perkuliahan Gue ... Enggak Gampang."

Start from the beginning
                                    

"Nanti Nada minta Niel buat bangunin pagi-pagi," kataku seraya tersenyum. "Ada lagi?"

Papa menggeleng. Sebelah tangannya mengibas, memberi isyarat kalau dia sudah selesai. "Kamu bisa ke kamar."

Sekali lagi, aku mengangguk. Aku lantas berbalik dan bergegas menuju kamar. Di ruang tamu, aku berpapasan dengan Niel yang tampaknya baru dari luar.

"Nad?" panggil Niel. Dia turut menyejajari langkahku menuju tangga dan naik ke kamar.

"Ya?"

"Aku dengar kamu udah mutusin balik kuliah," katanya lagi.

"Tergantung dokter bakal ngizinin atau enggak." Aku menyahut tanpa perlu repot-repot menoleh dan menatapnya. "Yah, semoga aja aku dianggap udah bisa buat balik kuliah."

Hening.

Ada jeda beberapa saat sebelum Niel kembali bicara, "Kamu keliatan semangat banget buat balik kuliah," katanya. "Padahal sebelum-sebelum ini kamu malas-malasan."

Seharusnya aku tidak kaget. Bahkan si empu badan ini juga mengakui hal itu. Namun, jujur, aku tidak siap disinggung masalah ini. Aku belum dapat alasan yang tepat. Mama dan Papa untungnya tidak mengungkit soal Aksara-Nada-ogah-kuliah.

Aku menghela napas, memutar otak. "Kenapa? Enggak boleh?"

Niel tidak langsung menjawab. Begitu langkah kami berhenti tepat di depan kamarku, barulah dia bersuara. "Nad," panggilnya. Sebelah tangannya meraih telapak tanganku dan menggenggamnya. "Kamu ... enggak apa-apa?"

Mendapat skinship sekonyong-konyong seperti itu sontak saja membuatku kaget. Tanpa ragu, aku mengentak tanganku. "Udah kubilang jangan sentuh aku, dasar kamu!" Aku mencak-mencak.

"Nad ...." Tatapan Niel terlihat nelangsa.

Ada apa ini?

"Kamu kenapa, sih?" tanyaku, heran.

Bibir Niel setengah terbuka, seperti ingin mengatakan sesuatu lagi. Namun, beberapa saat menunggu, dia kembali merapatkan bibir.

"Ada apa?" tanyaku.

Niel menggeleng. "Lupakan aja. Mending sekarang kamu istirahat. Besok kamu ada pemeriksaan."

Sejujurnya, aku kepo. Banget. Niel ini kenapa? Namun, pada akhirnya yang aku lakukan hanya mengangguk dan berkata, "Bangunin aku pagi-pagi."

"Oke." Dia dengan cepat menyetujui. "Aku ke kamarku dulu kalau gitu," katanya, berpamitan.

Aku mengangguk, menatap punggungnya yang beralih masuk ke kamar. Hingga pintu kamar Niel tutup, aku masih terpaku di depan pintu kamarku sendiri.

Hanya aku saja ... atau seperti ada sesuatu antara Nada dan Niel? Melihat perilaku Niel sejak aku menginjakkan kaki di rumah ini, rasa-rasanya, mereka terlalu akrab untuk sebuah hubungan putri majikan dan putra asisten rumah tangga.

Atau, mungkin mereka terlibat pattern cinta layaknya sinetron yang sering dipantengi Mamak? Di mana salah satu dari mereka atau keduanya jatuh cinta, tapi status sosial menghalangi.

Bisa jadi, sih. Namun, aku tidak terlalu peduli. Fokusku adalah menjalani hidup sebagai Nada sembari mencari solusi keluar dari masalah ini. Bukannya menikmati hidup sebagai Nada dan berperilaku sepenuhnya seperti dia.

Maaf saja. Aku tidak tertarik. Terlebih soal asmara hati. Mau mereka punya hubungan atau tidak, aku tidak ingin ikut campur terlalu jauh. Bisa berabe urusannya kalau sampai salah langkah.

Iya, kan?

Besoknya, seperti janjinya, Niel membangunkanku tanpa ampun

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Besoknya, seperti janjinya, Niel membangunkanku tanpa ampun. Berbeda dari kemarin, kali ini dia sampai menggedor-gedor pintuku seperti orang gila.

Sampai-sampai ... aku dibuat deg-degannya karenanya.

"Aksara Nada! Bangun! Kamu ada pemeriksaan hari ini!" Itu teriakannya ke sekian kali.

Masalahnya adalah tiba-tiba aku dilanda pusing yang sangat sakit. Keningku nyut-nyutan. Bahkan saat menapakkan kaki ke lantai, aku merasa ruangan ini seperti berputar. Tak ayal, aku sempat terhuyung karenanya.

"Nada!" panggil Niel lagi. Suaranya lantang.

"Iya, iya," sahutku sekadarnya. Dengan sebelah tangan memegangi kepala, aku membukakan pintu dan mendapati Niel berdiri dengan pakaian santai. "Enggak kuliah?" sapaku.

"Hari ini kelas siang," jawabnya. "Kamu kenapa?" Niel menelengkan kepala seraya mengernyit.

Aku menggeleng. "Aku enggak apa-apa."

Kernyitan Niel makin terlihat jelas. Bahkan kedua alisnya sampai kelihatan akan bertaut. Tanpa kata atau pun bicara, sebelah tangannya terulur dan menyentuh dahiku. "Panas," katanya. "Kamu demam."

"Enggak, kok."

"Itu bukan pertanyaan." Niel menyahut tegas. "Balik ke ranjang kamu. Aku kasih tau Om sama Tante." Dia segera berbalik dan bersiap mengambil langkah.

Sebelum Niel benar-benar turun ke bawah dan memberitahu orang tua Nada, aku harus buru-buru menghentikannya, "Niel! Aku enggak apa-apa." Sekali lagi, aku meyakinkan. "Aku cuma perlu istirahat bentar lagi. Abis itu everything gonna be alright."

Untungnya, langkah Niel benar-benar berhenti. Dia berbalik dan mendekatiku. "Jam berapa pemeriksaan kamu?"

Aku mengingat-ingat. "Jam sembilan, harusnya."

Niel melirik jam di pergelangan tangan. "Baru jam enam. Masih ada tiga jam. Kamu istirahat dulu," katanya.

Aku mengangguk. "Jangan bilang ini sama Papa atau Mama!"

"Tergantung." Niel memasang ekspresi super serius. "Kalau dalam dua jam kamu udah mendingan, aku enggak bakal bilang. Kalau masih demam dan tambah panas, aku enggak akan tutup mulut. Percuma kamu pemeriksaan kalau sakit begini."

Sotoy banget, tapi memang iya sih.

Aku mengembuskan napas. "Oke."

Setelahnya aku berbalik masuk kamar dan menutup pintu. Dengan setengah hati, aku menyeret badan ke ranjang dan berbaring.

Aneh sekali. Padahal sebelum-sebelum ini aku sehat saja. Tidak ada tanda-tanda akan sakit.

Apa aku harus menelepon Nada untuk bertanya? Toh, ini badan dia. Ah, bisa.

Dengan cepat aku mengambil ponsel di atas nakas dan menghubungi cewek itu. Kurang dari semenit, panggilan bersambut. "Halo?"

"Ada apa? Gue lagi riweuh, nih."

Oh, pasti sedang membantu Mamak bersiap berjualan.

"Kamu kalau demam biasanya gimana?" tanyaku to the point.

Ada jeda sebelum dia menyahut, "Lo demam?"

"Kalau enggak, mana mungkin aku nanya, 'kan?"

Nada ber-hmm, sepertinya tidak terlalu kaget. Dia dengan cepat memberi instruksi, "Gue selalu nyimpen kotak P3K di lemari. Coba cari. Rak paling bawah. Gue selalu sedia obat penurun demam."

"Ah, oke." Aku bergegas menggeledah lemari dan langsung menemukannya. Dengan ponsel kujepit menggunakan bahu, aku membuka kotak P3K tersebut dan menemukan berbagai obat. "Yang ditempel di dahi apa tablet?" tanyaku ketika menemukan keduanya.

"Gue biasanya make yang ditempel di dahi dulu, sih. Kalau enggak mempan, baru obat," katanya.

"Okay, then." Aku dengan cepat mengambil satu dan merobek bungkusnya. "Thanks."

"Hmm."

"By the way, hari ini aku pemeriksaan. Jam sembilan nanti," kataku, sekadar memberitahu.

"Lo ngebet banget pengin kuliah, ya?"

Aku tersipu. "Itu bukan pilihan yang buruk kan?"

"Terserah lo aja. Tapi, gue cuma bisa bilang ini-"

"Semangat dan good luck?"

"Bukan." Nada menampik. Lalu, "Hati-hati. Dunia perkuliahan gue ... enggak gampang." []











Just Like Magic [ON HOLD]Where stories live. Discover now