43 | Menghadap Pusara

Start from the beginning
                                    

Gadis itu menghela napasnya, "Tapi ternyata Kana salah."

Kana mendongak, menatap Gatra berdiri diterpa panasnya matahari tanpa pelindungan apapun selain seragam yang ia kenakan. "Iya, Bu. Entah tau darimana mantan ajudan Ayah yang Kana sempet iri karena nggak pernah Ibu omelin ini yang dateng nolong Kana."

Air mata gadis itu meluncur pelan ke pipinya. Hatinya pedih sekali mengingat semua yang telah terjadi. "Om Gatra bener..." Gumamnya. "Belum waktunya Kana bahagia bareng Ibu lagi. Tapi Kana janji, suatu saat nanti, Kana, Ayah, sama Ibu bisa bahagia bareng-bareng lagi."

Berat sekali mengatakan itu pada pusara yang masih basah. Hancur hatinya tak akan mampu dideskripsikan oleh kata-kata apapun.

"Maafin Kana ya, Bu... Maaf Kana belum mampu ikhlasin kepergian Ibu..." Jelas Kana. Jemari lentik kecilnya itu menyentuh tanah yang di atasnya masih terdapat bunga-bunga segar dan wangi harum yang mampu ditangkap oleh indra penciuman mereka.

Gadis itu mengecup pelan nisan ibunya sebelum berujar, "Tapi InshaAllah sekarang Kana udah ikhlasin Ibu bahagia di sana..."

Detik saat Kana berkata seperti itu, barulah Gatra menunduk, memperhatikan calon istrinya yang ia yakin menahan kepedihan itu di sana. Jemari Kana berada di depan dadanya seperti menenangkan dirinya sendiri.

"Berat, Bu..." Gumam Kana sebelum isakan kecil mulai terdengar. "Bahkan sampai Kana mati pun nggak akan bisa ikhlasin Ibu pergi..."

Kepala dengan hijab hitamnya itu menggeleng, "Tapi Kana nggak boleh mempersulit jalan Ibu... Kana harus ikhlasin Ibu."

Ditutupnya mulut Kana agar tak ada isakan yang mampu terdengar oleh Gatra. "Maaf, Bu... Terakhir Kana lihat Ibu sampai Ibu dimakamkan, Kana nggak bisa ngomong apa-apa... Kana baru mampu bicara sekarang..."

Benar, saat itu kondisi Kana benar-benar memprihatinkan. Ia hanya berdiri dan bernyawa tapi pikiran dan jiwanya entah kemana. Mengikuti segala prosesi pemakaman, pengajian, dan segalanya yang dengan baik hatinya diurus oleh Pak Gatot, sang tetangga.

Begitu besarnya pedih yang Kana rasa hingga ia tak bisa membedakan mana mimpi dan mana dunia nyata pada saat itu.

Baru sekarang lah ia kembali ke makam Hapsari dan mengatakan apa yang ia rasa. Selamanya, nama Hapsari tak akan lekang menjadi Ibu abadi baginya.

"Kana sayang Ibu..." Ucapnya sebagai ucapan terakhir di sana. Kepalanya lagi-lagi menunduk dan menahan isakan agar tak terdengar siapapun. "Ibu... hiks..."

Tak ada yang Gatra lakukan selain membiarkan Kana mengekspresikan perasaannya di sana. Melihatnya terpukul dan menangis itu lebih baik daripada hanya tatapan kosong yang tak hidup.

Karena Gatra sangat paham, untuk gadis seusia Kana, ujian hidupnya begitu luar biasa besar. Belum tentu manusia sebayanya mampu menahan derita seperti ini.

Sesaat setelah isakan itu memudar, Kana lagi-lagi mengelus nisan bertuliskan nama lengkap ibunya, Hapsari Katriji. Dikecupnya lagi nisan itu sembari membayangkan mengecup kening sang Ibu dengan hangat.

Ia sadar, dirinya tidak boleh terlalu lama meratapi kepergian ibunya. Seperti yang ia ketahui, ratapan itu akan memberatkan perjalanan Ibunya di sana, dan Kana tak menginginkan hal itu.

Bagaimana pun pedihnya semua ini, Kana harus tetap ikhlas. Ikhlas dengan perginya sang Ayah, ikhlas dengan kepulangan sang Ibu pada Sang Pencipta. Dan harus ikhlas menerima kenyataan bahwa dirinya adalah anak sebatang kara.

Berat, sangat berat. Tapi sebagai bakti terakhirnya, Kana lebih tak ingin kalau ia sampai memberatkan Hapsari di sana.

"Ibu orang yang baik, bahagia selalu di sana ya, Bu, tunggu Kana sama Ayah nyusul Ibu nanti ya," Tuturnya sebelumnya jemarinya mengambil kantong yang berisi bunga segar untuk ditaburkan di atas makam itu.

Namun, sebelum sempat menaburkannya, pria yang sedari tadi berdiri tegap memayunginya tanpa bergerak sedikitpun itu akhirnya berjongkok di sebelah kanan.

"Assalamu'alaikum, Bu Hapsari," Sapanya dengan santun seakan seperti salamnya dulu saat mediang masih hidup.

Sontak kepala Kana menoleh, netranya yang basah menatap Gatra yang tampak berbicara dengan pusata Ibunya.

"Izin lapor, Bu Hapsari, sebelumnya saya mohon maaf tidak pamit Ibu sebelum saya pergi dari rumah," Ucap Gatra yang merasa bersalah di sana. "Saya justru pamit ke Kana."

"Om..." Gumam Kana pada Gatra yang bicara seperti itu. Padahal ia tahu sendiri alasan Gatra tak pamit karena Hapsari enggan menemuinya. Kana yakin, hal itu pasti menyakiti Gatra yang saat itu hanya menjalankan tugasnya sebagai seorang ajudan saja.

Kepala Kana menggeleng dengan giginya yang menggigit bibir bawah, "Maafin khilafnya Ibu ya, Om..."

"Justru saya yang minta maaf belum bisa melindungi keluarga Ibu," Ucap Gatra membalas ucapan itu seakan bicara dengan Ibu kandung Kana.

Lagi, kepala Kana menggeleng menolak perkataan itu, "Enggak, Om Gatra udah jalanin tugas semaksimal mungkin. Bahkan lebih dari yang seharusnya." Ucap gadis itu. "Ibu juga udah menyadari itu semua kok, Om."

"InshaAllah sebelum akhir hayatnya tiba, Ibu juga udah nggak benci Om Gatra ataupun Ayah, siapapun itu. Ibu udah memaafkan semuanya, dan berdamai sebelum akhirnya beliau pergi ke tempat yang jauh lebih tenang dari dunia ini 'kan?"

Gatra menoleh ke arah gadis yang ia tau sedang berpura-pura tegar itu. Kepalanya mengangguk dan tersenyum tipis. "InshaAllah," Jawabnya sebelum ia memberikan kantung berisi bunga segar itu.

Tangannya ikut terulur untuk mengambil beberapa bunga dari kantung sebelum menaburkan di atas gundukan tanah basah itu. "Tenang di sana, Bu Hapsari, InshaAllah nanti putri Ibu di sini tidak lagi sendirian. Karena..."

Gatra menggantungkan kalimatnya sebelum tubuhnya ditegapkan dengan posisi sempurna seperti saat dirinya menghadap ke atasan. Bedanya, tumpuan tubuh Gatra ada di atas lutut, agar jaraknya dekat dengan pusara itu.

Tentu saja, pergerakan itu juga mendapat perhatian dari Kana. Keningnya mengernyit menebak-nebak apa yang akan pria itu lakukan dengan posisinya yang seperti ini.

"Izin menghadap," Ucapnya lantang dengan volume pelan. Garis rahang tegasnya tercetak dengan jelas. Tatapan tajam yang lurus seakan serius dengan apa yang akan ia katakan selanjutnya.

"Saya Letnan satu Gatra Jenggala, mohon izin meminang putri tunggal Ibu Hapsari dan Bapak Sadiman untuk menjadi istri dan Ibu dari anak-anak saya kelak."

Detik itu juga Kana menutup mulutnya dan tangisan itu pecah begitu saja.




[ D A R A A J U D A N ]

[ D A R A   A J U D A N ]

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

©friday-ukht, 2022

Gatau mau nulis apa, aku speechless banget, sampe mau promosi mowteaslim aja ga mampu:( kl kamu gimana?

Inalillahi wa innailaihi roji'un, turut berduka cita atas meninggalnya Alm. a Eril (Putra Pak Ridwan Kamil)🙏 Semoga alm. a Eril diberikan tempat ternyaman di sisiNya, Aamiin allahuma aamiin.

________ _________

Beliau bersabda, "Yang paling banyak mengingat kematian dan yang paling baik dalam mempersiapkan diri untuk alam berikutnya, itulah mereka yang paling cerdas." (HR Ibnu Majah).

__________ __________

Dara AjudanWhere stories live. Discover now