Healer 34

376 37 0
                                    

Selamat membaca!

Agus kira setelah waktu yang mereka habiskan selama liburan natal dan tahun baru, hubungan mereka akan semakin dekat, tapi ternyata tidak.

Agus tidak mengerti apa yang membuat Violet kembali menjauhinya, bahkan setelah pernyataan cintanya malam itu, dan setelah ciuman pertama mereka.

Dia benci perasaan tidak menentu seperti ini, dia benci merasa bersalah dan dia benci diabaikan oleh orang-orang yang dia sayang, seperti yang dilakukan oleh ibunya.

Entah sudah berapa kali Agus menghubungi Violet, tapi nomor handphone wanita itu tidak aktif. Ketika dia datang ke butik juga tidak dia temukan wanita itu, dan saat Agus menghampiri kediaman wanita itu Abraham dan Berlian seolah membantu usaha Violet untuk menghindarinya.

Sekarang yang bisa ia lakukan hanyalah menunggu, entah hubungan ini akan berakhir kemana. Disaat dia sudah melabuhkan hatinya, namun malah ketidakpastian yang ia dapat.

💜💜💜

Violet kembali mendengar ketukan pintu, kali ini disusul oleh suara papanya, namun dia masih bergeming di atas ranjangnya. Mengenakan pakaian yang sama sejak dua hari lalu.

Penampilannya terlihat berantakan, tidak seperti Violet biasanya yang selalu modis dengan padanan baju pilihannya yang sedap dipandang. Rambut wanita itu kusut, mukanya pucat, matanya sembab dengan kantung mata yang hitam. Ini persis seperti Violet beberapa tahun silam. Tidak ada kehidupan sama sekali di wajahnya.

Semenjak kembali bertemu dengan Adrian, Vio kembali mengalami mimpi buruk. Setiap dia memejamkan matanya, dia akan kembali bermimpi tentang kejadian menyeramkan itu, lalu saat terbangun dia akan menangis sejadi-jadinya. Dia menangis karena ketakutan, namun disisi lain, dia juga menangisi dirinya yang lemah karena tidak bisa mengendalikan ketakutannya itu.

Seandainya obat penenang yang diberikan psikiaternya masih ada, kondisinya pasti tidak akan seburuk sekarang. Namun setelah meyakinkan diri untuk mempercayai dan mencoba untuk mengenal Agus, Violet sudah tidak meminum obat-obat itu lagi, dia bahkan membuangnya. Tidak menyangka bahwa sekarang dia akan membutuhkan obat-obatan itu lagi.

"Sayang, papa boleh masuk?" Lagi, Abraham yang tidak lelah membujuk anak satu-satunya untuk keluar dari kamar itu masih berdiri di depan pintu kamar Violet.

Tapi tidak perlu menunggu sampai dia lelah, Violet membuka pintu kamarnya dan membiarkan Abraham masuk, duduk di pinggir ranjang, di sampingnya.

Ayah satu anak itu terlihat sama lesunya seperti Violet, tapi dia harus menegarkan diri karena dia kepala keluarga. Bagaimana dia mau memastikan keluarganya baik-baik saja kalau dianya sendiri rapuh.

Abraham menggenggam tangan Violet dengan sangat hati-hati, seolah kalau dia menggenggamnya terlalu kuat Violet akan langsung hancur. "Anak papa apa kabar?" Tanyanya dengan nada ceria.

"Baik" jawab Violet tersenyum, namun tidak berani melihat mata papanya.

"Syukurlah kalau baik-baik aja. Papa kangen loh sama kamu, dari kemarin Vio ngga keluar kamar" ucapnya sambil mengusap sayang kepala anaknya. "Boleh papa peluk?"

Tanpa menunggu sedetikpun, Vio langsung menghambur ke pelukan papanya, dia menangis, mengadu semua yang dia rasakan pada papanya. Tentang mimpi buruk yang kembali datang, tentang perasaannya kepada Agus, juga tentang ketakutannya akan pria itu yang mungkin saja akan berubah seperti Adrian ketika mereka menikah nanti.

"Kamu ngga perlu takut sayang, papa bisa lihat kalau dia laki-laki yang baik. Lagian papa yakin, kamu pasti lebih kenal dia dibandingkan papa. Iya kan?"

Violet perlahan mengangguk.

"Ketakutan kamu itu cuma ada di sini" kata Abraham menunjuk kepala anaknya "jangan biarin ketakutan yang belum tentu akan terjadi itu menguasai kamu, kamu harus bisa kendalikan. Semua itu hanya ada di masa lalu, Adrian dan Agus dua orang yang berbeda. Jangan karena satu orang jahat, kamu jadi menutup diri dari orang-orang baik yang mencoba untuk mencintai kamu dengan tulus"

HealerWo Geschichten leben. Entdecke jetzt