Aku pun naik, begitu pula mereka bergegas menaiki motor masing-masing. Sontak, kejadian tadi begitu heboh dengan teriakan siswi yang masih berada di sana. Begitu juga dengan anggota Bradiz, siapa lagi kalau bukan Haikal dan pasukannya.

Berpegangan pada pundak Alvan, hanya itu yang bisa aku lakukan. Namun, ternyata Alvan malah menarik tanganku dan melingkarkan pada pinggangnya, sontak membuat aku memeluknya.

"Nanti jatuh," ucapnya.

"BANG, KALAU DEMEN BILANG AJA!"

Alvan tak memperdulikan teriakan itu, dia menjalankan motornya dan meninggalkan parkiran. Sementara itu, aku sempat bertatap muka dengan Abyaz, yang tersenyum lebar, begitu juga dengan Evan yang berada di samping Abyaz.

Di perjalanan, hanya keheningan yang mengisi, sementara aku masih terkejut dengan perbuatannya tadi. Namun, kejutan semakin bertambah ketika Alvan mengusap punggung tanganku saat berhenti karena lampu merah.

Elusan itu sangat hangat dan lembut, hingga tanpa sadar aku menaruh dagu pada pundaknya, melihat dia dari kaca spion. Aku tak tahu, dibalik helm itu dia sedang tersenyum atau seperti biasa berwajah datar.

Tak terasa lampu lalu lintas sudah kembali hijau, Alvan pun menjalankan kembali motornya. Ini cukup menimbulkan banyak tanda tanya mengapa Alvan mengizinkan aku memeluknya seperti ini. Hingga akhirnya, kita semua sampai di markas.

Ternyata sudah ada motor yang lain. Bukankah tadi yang berangkat kami duluan? Lalu, bagaimana bisa yang sampai di tempat adalah mereka? Ini aneh.

Aku turun dari motor, Alvan membuka helm lalu menarik kuncinya. Tanpa diduga, dia membantu membenarkan tatanan rambutku yang sedikit berantakan terkena angin jalanan.

Aku lagi-lagi terdiam. Benar kata Zaidan, Alvan itu tipe orang yang tanpa banyak bicara tetapi langsung ke tindakan. Bagaimana aku tak semakin jatuh cinta pada pemuda ini.

"Jaketnya jangan dilepas, di dalam cowok semua."

Aku mengangguk, lalu mengikuti langkah dia dari samping. Dia membuka pintu dan terlihat mereka sedang duduk. Aku hanya cengo. Sungguh.

Mereka semua anggota Bradiz? Wah, tampan sekali, tetapi tetap saja Alvan lebih tampan di mataku. Lalu, aku disuruh duduk di samping Liam dan Ezra.

"Jadi cewek ini yang dimaksud, Bang?"

"Iya, dia yang bakal jadi partner Ezra, mungkin jadi calon ibu wakil juga," goda Liam dengan tatapan menuju Alvan.

Sang pemilik nama hanya bisa menunduk sambil bermain ponsel, lalu ruangan itu dipenuhi teriakan anggota yang lain.

"Ekhem, aduh, gercep juga ya!"

"Sekalinya nemu, modelan berlian."

Aku hanya bisa menggaruk lengan, demi apa pun, aku jadi canggung sendiri.

"Gua mau ngajuin pertanyaan," ucap pemuda dengan lesung pipi itu.

"Apa tuh?"

"Ya, untuk menentukan dia cocok buat jadi partner bang Ezra atau enggak."

"Palingan masalah percintaan lagi," celetuk Haikal.

"Gua minta pendapat lo-"

"Auva," kataku dengan cepat.

"Menurut lo, gua harus apa? Ketika gua punya pacar, tapi pacar gua masih kontakan sama mantannya. Belum lagi tiap hari dia sama gua itu ribut, masalah sepele dia langsung cuekin gua, gua selalu berusaha kasih apa yang dia pengenin tanpa diminta."

"Lah, Bang, berapa lama dia sama mantannya?"

"Empat tahunan lah, dari jaman SMP."

"Oke, siapa nama lo?"

"Jefri."

Oh, jadi pemuda itu namanya Jefri, sepupunya Gisel. Aku mengangguk.

"Empat tahun pacaran emang bukan waktu yang cepat, apalagi katanya masih kontakan. Dan setiap kali sama lo, dia selalu ribut? Bahkan hal sepele diributkan?" Tanyaku.

Jefri mengangguk, "Kadang gua juga nanya dia lagi di mana, dia bilang di rumah padahal dia lagi ada sama mantannya di kafe," adunya.

"Iya, berarti mungkin cewek lo belum lepas dari masa lalunya. Itu sebabnya jangan pernah memulai hubungan ketika masa lalu belum selesai."

"Tapi Va, dia cerita ke gua, katanya sebelum pacaran sama mantannya, mereka itu sahabat dari SD."

"Dan lo percaya sahabatan bertahun-tahun tanpa melibatkan perasaan? Pasti ada, entah salah satu dari mereka ada yang memendam perasaan."

"Terus gua kudu gimana? Gua udah sayang sama cewek gua."

"Bro, lo tau kan perasaan enggak bisa dipaksa? Coba lo tanya baik-baik, dia masih sayang sama siapa? Kalau seandainya dia masih sayang masa lalunya, lo harus ikhlas," Ezra ikut membuka suara.

"Kadang yang cewe butuh itu cuman kepastian, tapi kalau udah dapet cowok yang effort kaya lo disia-siain? Ya berarti cewek lo buta, Jef," tambahku dengan sedikit kesal.

"Oke deh, thanks sarannya. Sok, bang, lanjutin." Jefri tersenyum, hingga akhirnya salah satu dari mereka mengacungkan tangan lagi.

Aku tidak tahu dia siapa, tetapi yang jelas dia sangat serius. Semua orang menatapnya, bahkan Alvan pun ikut menatap orang itu.

"Gua mau tanya," ujarnya.

"Tanya aja, apa yang pengen lo tanya."

"Ini cewek kan otomatis bakal jadi inti Bradiz 'kan?" Aku melihat anggota inti Bradiz mengangguk.

"Terus?" tanya Evan.

"Seandainya ada anggota yang diadu domba karena pihak luar, apa yang bakal lo lakuin? Secara kedua kubu itu sedang panas-panasnya?"

Pertanyaan darinya membuat aku bahkan satu ruangan ini terdiam. Jujur saja, aku tidak tahu apa-apa tentang Bradiz. Hingga akhirnya, aku menatap pemuda yang memakai kacamata itu.

"Adu domba ya? Gua gak bakal mihak siapa pun, baik nanti kubu A atau B yang jelas gua bakal mencoba dengerin dari pihak A dan mungkin minta bantuan Ezra buat dengerin pihak B." Aku melihat mereka semua memperhatikan ucapanku.

"Setelah semua jawaban terkumpul, mungkin itu yang bakal gua pertimbangkan lagi sama yang lain buat cari jalan keluar sekaligus bukti, dan nyadarin ke dua kubu itu kalau sebenarnya mereka diadu domba. Setelahnya, mungkin kalian bakal mencari tahu siapa dalangnya? Maybe."

Keadaan hening hingga akhirnya pemuda itu bertepuk tangan, dia mengangkat dua jempolnya ke arahku.

"Sip, sip, gua puas banget sama jawaban lo. Emangnya lo pada nemu nih anak di mana?" tanya pemuda itu.

"Yang jelas bukan di kolong jembatan, unlimited bro masalahnya yang modelan gini," jawab Naka sambil tertawa, membuat mereka tertawa.

"Yaudah, Bang, lanjutin aja."

"Nah, jadi gini, Auva, kita semua udah sepakat mau ngangkat lo jadi bagian Bradiz. Satu-satunya perempuan yang menjadi anggota inti, lo mau apa enggak?"

"I have one question."

"What's that?"

"Apa alasan terbesar kalian ngajakin gua untuk gabung itu apa?"

"Simple, karena emang selama ini kita mantau lo, dan emang lo dilihat-lihat cocok Va. Memenuhi kriteria kita, selain itu ya, abis ini lo bakal tau sendiri." Aku masih belum memahami ucapan dari Liam.

"Gimana?"

"Dasar lemot," celetuk Alvan.

"Intinya kita butuh lo, Auva, paham?"

Apa ini yang dimaksud oleh Arjun waktu itu?

Jadi benar, Bradiz selama ini tertarik untuk menjadikan aku milik mereka?

Wah, aku harus senang atau sedih?

Keputusan apa yang akan aku pilih?

ー ABOUT FEELINGS ー

ABOUT FEELINGS [END]Where stories live. Discover now