NOTHING-11

459 54 1
                                    

Drttt....

Baru saja melangkah di anak tangga, ponsel Devian bergetar. Dia merogoh saku lalu melihat panggilan masuk itu. Begitu tahu siapa yang meneleponnya, dia berhenti melangkah. "Ya, Kek!" jawabnya malas-malasan.

"Kamu kemarin nolak dikenalin sama...."

"... dia ngadu?" potong Devian sambil kembali melanjutkan langkah. "Kek, masalah sepele aja dia ngadu. Heran."

"Wajar dia ngadu atas sikap nggak sopanmu!"

Devian geleng-geleng. Dari mana sikap tidak sopannya? Dia menolak dengan halus. Andai Devian langsung menolak dengan ucapan pedasnya, bisa-bisa diberitakan di media.

"Dev! Jangan kayak gitu. Nama baik perusahaan...."

"... harus Devian jaga, kan?" potong Devian sambil membuka pintu kamar. Dia meletakkan ponsel di atas ranjang, kemudian mulai melepas dasinya.

"Jangan pernah nolak permintaan klien."

"Kalau mereka minta aku bunuh diri?"

"Nggak mungkin kayak gitu!"

Devian melempar kemejanya asal. Dia duduk di pinggir ranjang dan menggapai ponselnya. "Udah, Kek, aku mau istirahat."

"Besok ada cucu kolega kakek yang mau ketemu kamu."

"Selain ngurus perusahaan aku harus ngurus perjodohan?" geram Devian. "Udah berapa kali aku bilang, aku nggak mau nikah!"

"Mempersiapkan nikah itu juga penting!" Pak Terino tidak mau kalah. "Kamu turuti aja selama itu nggak ganggu nyawamu!" Setelah itu sambungan terputus.

Devian meletakkan ponsel kemudian berbaring di ranjang. Dia bosan hidupnya terus didekte oleh sang kakek. Dia pikir, menuruti kakek untuk meneruskan perusahaan sudah cukup. Ternyata dia harus melakukan banyak hal dengan berbagai alasan. Padahal, hal-hal semacam perjodohkan bukan termasuk ke tanggung jawab kerjanya.

Drttt....

Mendengar suara ponsel Devian kembali bangkit. Dia mengambil benda itu dan melihat pesan singkat dari nomor asing.

08124433xxxx: Devian, ya? Ini gue Theresa cucu Pak Yohanes, teman kakekmu.

08124433xxxx: Boleh kenalan?

Devian mengembuskan napas. Sudah jelas kakeknya memberi tahu nomornya sebelum meminta izin. Dia dengan enggan membalas. Sayangnya, ada bisikan lain yang membuat jemari Devian bergerak membalas pesan itu.

Devian: Lo di mana? Gue samperin.

Setelah pesan itu terkirim, Devian beranjak menuju kamar mandi. Dia segera mengguyur tubuhnya dengan air dingin, sekaligus untuk menjernihkan pikiran. Lagi-lagi Pak Terino membuatnya uring-uringan.

Andai Devian tidak memedulikan mamanya, sudah pasti dia tidak akan menuruti kakeknya. Sayangnya, setiap Devian membangkang sang mama selalu memarahinya. Ibarat kata, Devian akan kena marah dua kali padahal itu bukan kesalahannya. Karena itu, Devian malas ribut.

***

Satu jam kemudian, Devian sudah duduk di sebuah restoran ternama dengan seorang wanita di depannya. Rambut wanita itu digerai indah dengan warna agak kecokelatan. Matanya dengan softlens berwarna agak keunguan dan tak henti menatapnya.

"Ck! Gue udah temuin, kan?" tanya Devian setelah mendiamkan wanita itu cukup lama.

Theresa tersenyum. "Kakek lo berharap lebih ke gue."

"Nikahin aja kakek gue."

"Maksudnya bukan gitu!" Theresa buru-buru menjelaskan. "Dia berharap gue deket sama lo."

Nothing At AllWhere stories live. Discover now