HUJAN DI KOTA MANHATTAN

3.8K 36 0
                                    

Malam ini hujan. Sambaran petir yang saling bersahutan sedang melanda Kota Manhattan. Udara dingin dan suara petir yang tidak ada henti-hentinya itu juga berhasil membuat Aliyah terbangun dari tidurnya. Ketika Aliyah membuka mata, hal pertama yang ia lakukan melihat ke arah jendela. Di sana ia bisa melihat air hujan yang turun begitu derasnya.

Dengan tubuh gemetar, Aliyah melafalkan ayat Al-Qur'an. Aliyah akan selalu melakukan ini ketika hujan datang. Ia tahu hujan disebut sebagai rahmat dan tanda kasih sayang Tuhan kepada makhluknya di bumi. Sebagaimana tercantum dalam surah Asy-Syura ayat 28.

"Dan Dialah yang menurunkan hujan setelah mereka berputus asa dan menyebarkan rahmat-Nya. Dan Dialah Maha Pelindung, Maha Terpuji," Aliyah melafalkannya dengan memejamkan mata.

Sejak kecelakaan yang menimpa ayahnya dua tahun lalu, Aliyah menjadi takut hujan. Hatinya tidak tenang ketika hujan datang. Aliyah selalu merasa bersalah. Seandainya Aliyah tidak egois pada hari itu meminta ayahnya buru-buru menjemputnya ketika hujan, mungkin ayahnya masih hidup sampai sekarang. Namun, menyalahkan diri sendiri juga percuma saja. Takdir setiap orang sudah diatur Tuhan. Aliyah hanya mampu mendoakan ayahnya saja.

Aliyah membuka matanya, memberanikan diri menatap air hujan yang menetes setiap detiknya. Masih sama seperti hari kemarin, hujan deras datang ketika malam hari di Kota Manhattan. Tetapi, hujan tidak membuat orang-orang berhenti melakukan kegiatan. Masih banyak orang-orang yang berjalan di luaran sana, apalagi di sekitar kawasan Times Square New York. Persimpangan jalan itu tidak pernah sepi, bahkan hingga larut malam masih banyak orang berkegiatan.

Sementara, Aliyah sendiri hendak menjalankan salat isya. Aliyah menuju wastafel, membasuh wajahnya sebentar. Ternyata tidak banyak yang berubah dari wajah Aliyah. Ia kira setelah menikah akan ada banyak perubahan. Mungkin Aliyah akan menjadi lebih cepat keriput, karena selalu dibuat kesal suaminya. Tetapi masih sama saja, tetap Aliyah dengan kulit putih, bibir kecil, bola mata berwarna coklat, dan rambut hitam sebahu.

Puas memandangi wajahnya sendiri, Aliyah kemudian buru-buru mengambil air wudhu. Setelah menyucikan diri, ia keluar dari dalam kamar mandi. Ia mengusir segala pikiran buruk soal suaminya yang menyebalkan itu.

Selama ada Dewa di sisinya, Aliyah menjadi kesal. Aliyah percaya Dewa akan menjadi suaminya yang baik, setelah seminggu mereka menikah. Bundanya juga tidak perlu khawatir dengan keselamatan Aliyah di Manhattan, karena akan ada Dewa yang selalu menjaganya. Namun, harapan bundanya itu sirna sudah. Malam-malam seperti ini saja, Aliyah tidak tahu suami tengilnya itu berada di mana. Tetapi, mendadak Aliyah yang hendak menjalankan salat dikejutkan dengan sebuah suara.

Krekkk!

Suara pintu kamar terbuka, menampakkan Dewa yang berpakaian basah kuyub. Belum lagi rambut Dewa acak-acakan, membuat Aliyah semakin syok dengan suaminya. Entah apalagi yang Dewa lakukan malam ini. Aliyah sampai tidak habis pikir. Jika bukan karena permintaan wanita yang melahirkannya, Aliyah tidak mau dijodohkan dengan tetangga sebelah rumahnya.

Sejak kecil Dewa adalah musuh Aliyah. Kerap sekali semasa sekolah dulu, Aliyah dibandingkan dengan Dewa yang masuk ke pesantren sejak umur laki-laki itu dua belas tahun. Bahkan ayah Aliyah ingin memiliki menantu yang baik seperti Dewa. Baik dalam hal agama dan pastinya bisa menuntun Aliyah ke jalan yang benar. Namun, mereka semua tidak tahu, setelah Dewa mengambil kuliah di New York dan bekerja di sini, laki-laki itu berubah menjadi laki-laki berandalan.

Bahkan sikap Dewa membuat Aliyah frustasi. Aliyah memang jauh dari kata baik, bahkan ia baru hijrah lima bulan yang lalu. Namun, Aliyah terus memperbaiki dirinya, tidak seperti Dewa. Padahal Dewa sekarang ini sudah menjadi imam keluarga. Tetapi, kelakuannya masih saja begitu.

"Aku udah bilang berulang kali, jangan-" ucap Aliyah yang hendak mengomel, tetapi dipotong cepat oleh Dewa yang naik ke atas sofa.

"Dewa!! Baju kamu basah! Kenapa malah naik ke atas situ? Cepetan turun!" teriak Aliyah yang kesabarannya sudah setipis tisu.

"Sstt! Udah, malem Al. Lo mau bangunin orang seapartemen? Ini New York, bukan Jakarta. Kurang-kurangin suara cempreng lo. Mendingan lo ambilin gue baju ganti," ucap Dewa.

"Enggak mau! Ambil sendiri aja, aku mau salat isya," balas Aliyah yang memandang Dewa dengan tatapan sinis.

"Lo yakin enggak mau?" tanya Dewa sembari beranjak dari sofa.

Dewa mulai berjalan ke arah Aliyah. Mata Dewa mengisyaratkan penuh arti, membuat Aliyah tanpa sadar mundur beberapa langkah. Ia tidak tahu apa yang mau suaminya lakukan. Berprasangka buruk pada Dewa juga tidak boleh. Tetapi, tidak bisa dipungkiri saat ini Dewa membuat Aliyah takut. Suami menyebalkannya itu selalu berbuat sesuatu aneh yang tidak pernah Aliyah pikirkan sebelumnya.

"Dewa, kamu mau ngapain? Aku barusan udah wudhu, aku mau salat. Kamu basah semua, nanti aku jadi ikutan basah."

"Gue mau peluk lo. Masa peluk istri sendiri enggak boleh?" Dewa tetap melangkah ke arah Aliyah, hingga jarak mereka semakin dekat.

Dewa yang semula hanya ingin dituruti saja, kini tersenyum senang saat berhasil menggoda Aliyah. Wajah ketakutan Aliyah yang disertai kemarahan itu begitu lucu di mata Dewa. Apalagi saat teriakan Aliyah mulai terdengar. Itu menandakan Aliyah sudah tidak tahan lagi menghadapi sikap menyebalkan Dewa.

"Udah, diem di situ! Ini aku ambilin baju kamu. Sekarang, jauh-jauh. Jangan ganggu aku dulu. Aku mau salat," teriak kesal Aliyah sembari memberikan pakaian ganti untuk Dewa.

"Harusnya dari tadi kayak gini. Kalau lo nurut, gue juga enggak akan ganggu. Habis ini gue juga salat. Cepetan, gantian sama gue!" ucap Dewa.

Anehnya, Dewa yang selalu Aliyah anggap menyebalkan. Bahkan Dewa beberapa kali menggoda seorang wanita, lalu pergi nongkrong dengan orang-orang tidak jelas. Belum lagi Dewa suka ke kelab malam akhir-akhir ini. Tetapi, suaminya itu tidak pernah meninggalkan salat. Aliyah pikir karena gemerlap Manhattan yang memberikan kebebasan ini  membuat Dewa meninggalkan salat. Namun, Dewa ternyata tetap menjalankannya.

"Tadi kamu habis dari mana? Kenapa sampai hujan-hujanan gitu?" tanya Aliyah yang sedang memakai mukena.

"Habis godain cewek yang jaga cafe di depan," jawab santai Dewa yang membuat Aliyah kembali emosi. Padahal baru saja tadi Aliyah mengucap istighfar berulang kali.

"Dewa! Istri kamu di rumah khawatir, kamu bisa-bisanya godain cewek lain. Kamu udah keterlaluan. Sini, kamu!" teriak Aliyah lagi, sambil memegang bantal sofa. Aliyah melemparkannya ke arah Dewa, tetapi Dewa sigap menangkapnya.

"Maafin gue, Al. Gue khilaf barusan," ucap Dewa yang mengembalikan bantal itu ke Aliyah dengan cara melempar kembali. Lalu, laki-laki menyebalkan itu berlari masuk ke kamar mandi sambil tertawa.

"Dewa!!!" geram Aliyah yang bertambah kencang berteriak. Lama-lama Aliyah bisa gila menghadapi suaminya. Namun, Aliyah sendiri yang sudah mengambil keputusan menikah dengan Dewa. Bagaimanapun juga Aliyah harus menjalankan ibadah menikahnya dengan ikhlas.

Kala hati Aliyah sedang emosi seperti ini, kunci untuk mengatasinya hanyalah dengan salat. Setidaknya hati Aliyah bisa kembali tenang lagi setelah salat. Dan, Aliyah berharap masih banyak stok kesabarannya untuk menghadapi Dewa. Sekarang, Aliyah kembali fokus menjalankan ibadahnya, melupakan Dewa yang sedang berada di dalam kamar mandi. Setidaknya, hati Aliyah jauh lebih lega saat ini, suaminya tidak pergi berpesta.

SUJUD CINTA MANHATTAN [SUDAH TERBIT]Where stories live. Discover now