72 | Cucu Mak Samil

Start from the beginning
                                    

"Mak istighfar," Ucap Nilam sembari menenangkan emosi ibunya. Raut cemas gadis itu tampak ketara sekali.

"Kau perempuan yang buat anakku durhaka sama ibu kandungnya sendiri!" Maki Mak Samil dengan bentakannya lagi pada Kana. "Puan tak tau diri!"

Nilam menatap Abangnya yang masih menenangkan istrinya dengan tatapan khawatir. "Mak udah jangan ribut di sini, nggak enak sama tetangga kamar." Sahut Nilam. "Ayo masuk dulu, Bang, Kak."

Benar saja, Nilam menarik tubuh ibunya untuk lekas masuk ke kamar hotel itu. Ditariknya bangku agar Kana dan Abangnya bisa duduk, sementara ibu dan dirinya duduk di ranjang.

"Kau tau? Aku menghidupi anakku dari dia di rahimku sampai dia sudah menjadi seperti ini, aku! Aku rawat anakku, aku sapih dia, aku didik dia. Sekarang kau datang dan ambil anakku tanpa restuku?!" Hati Samil makin sakit saat melihat gadis yang bersama dengan putranya.

Tanpa sadar emosi itu menghadirkan air mata di pelupuk matanya. "Kau pun seorang perempuan, seharusnya bisa berpikir! Bagaimana kalau suatu saat anakmu mencampakkan ibunya sendiri!"

Jemari Nilam mengelus pundak ibunya, "Mak, tenang..." Bisiknya. Ia khawatir karena kakak iparnya tengah mengandung. Takut ucapan Maknya menjadi doa untuk janin tersebut.

"Biarlah, Nilam," Tolak Samil. "Rasa sakit hatiku jauh lebih pedih dari tamparan di pipi kau tadi. Aku ini ibunya! Kau ini siapa?! Perempuan asing yang bahkan aku tak tau bibit bobot bebetmu!"

Kana masih menunduk, tak berani ia tatap mata ibu mertuanya. Khawatir suara tangisnya akan semakin terdengar. Sementara Gatra, dia duduk di samping istrinya sembari terus mengelus punggung gadis itu.

"Dan..." Samil menggantungkan kalimatnya, "Asal kau tau, anakku sudah ku jodohkan dengan anak orang terpandang di kampung," Ujarnya.

Detik itu juga Kana mendongak, genangan air mata dan wajah memerah itu terlihat jelas. Keterkejutan di raut wajahnya semakin bertambah kala melihat Nilam menunduk.

Jadi Nilam sebenarnya sudah mengetahui perjodohan itu?

"Apa-apaan, Mak?" Tanya Gatra yang kini membuka suaranya. Demi Tuhan ia khawatir akan menjadi anak yang durhaka pada ibunya sendiri.

"Kenapa?" Tanya Samil balik. "Kau sendiri yang mau perjodohan ini. Sekarang mereka sudah setuju, dan kau diam-diam menikahi perempuan lain?!"

Kalau sudah seperti ini, Nilam sudah tak punya nyali untuk ikut campur. Wajah abangnya tampak menyeramkan sekali. Kesal yang dipendam atas dasar ia sedang berbicara dengan ibunya. Coba kalau bukan ibunya, sudah dipukul sedari tadi oleh pria itu.

Suara keras ibu mertuanya membuat kepala Kana pening seketika. Banyak beban pikiran yang ia rasa ditambah fakta yang ia terima membuat pening itu berubah menjadi rasa mual. Kana tak jarang merasakan ini, pusing dan mual, bahkan sesak napas saat menghadapi situasi mencemaskan.

Rasanya persis seperti saat ia terjun ke lapangan untuk berdemo sebelum akhirnya Gatra datang menyelamatkannya, persis seperti itu. Bedanya hari ini, Kana sudah tak sanggup lagi menahan gejolak rasa mual yang tercipta.

Dengan cepat Kana berdiri menghampiri Nilam. Tentu Nilam sigap dengan itu. "Kenapa, Kak?" Tanyanya dengan panik.

"A—aku... Ke toilet, Lam."

"Di sana ayo, kak, aku temenin." Nilam menuntun Kana yang masih menangis dalam diamnya, menahan sesegukan nyatanya bukan perihal mudah.

Baru saja Gatra berniat mendampingi istrinya, Kana cepat menggeleng dan meminta Gatra untuk tetap berbicara dengan ibunya.

Hueek!

Benar saja, Kana bisa memuntahkan itu semua. Selesai mengeluarkan sisa makanannya, kepala Kana sedikit lebih ringan. Ia menghela napas untuk melegakan sedikit sesaknya tadi.

Dara AjudanWhere stories live. Discover now