“Mampus gua! Eh, lo kutu buku, lo beneran enggak apa-apa ‘kan? Aduh, mati gua kalo lo kenapa-kenapa.”

Aku mengerutkan dahi, bingung dengan maksud perkataan Abyaz. Setelah ucapannya, Evan semakin membabi buta memukuli Abyaz, sehingga semua perhatian tertuju kepada kami.

Abyaz mencoba melindungi dirinya sambil tertawa. “Stop, stop! Sumpah gua enggak bakal ngebut lagi!” katanya sambil mengangkat tangan sebagai tanda menyerah.

Evan berhenti memukul dan menghela napas panjang. “Lo enggak ngerti ya? Kalau sesuatu terjadi sama dia, kita yang kena imbasnya. Jangan main-main soal ini.”

Aku menatap mereka berdua dengan penuh kebingungan. “Sebenarnya ada apa sih? Kenapa kalian kayaknya khawatir gitu?”

Abyaz dan Evan saling pandang sebelum Abyaz menjawab, “Lo enggak tahu ya? Ada seseorang yang sangat peduli sama lo, dan kita enggak mau bikin dia marah. Jadi, lo harus hati-hati.”

Aku hanya tercengang mendengar ucapan itu, hingga akhirnya deheman dari seseorang membuat kami bertiga menengok ke belakang.

Di sana, berdiri kelima inti Bradiz lainnya. Aku hanya diam bingung harus bagaimana karena semua pandangan tertuju padaku. Salah, maksudku, pandangan mereka terfokus pada Abyaz dan juga Evan.

“Kenapa telat?” Pertanyaan dari Ezra membuat kedua orang itu hanya diam menunduk. Dari sini aku tahu bagaimana interaksi mereka secara langsung, hierarki yang jelas dan tegas.

“Loh Upa?”

Seseorang dari balik punggung tegap itu menyadari kehadiranku, sehingga membuat mereka menatap lekat ke arahku. Ranaka, kenapa sering kali membuat perhatian mereka tertuju kepadaku?

Aku berdecak malas. “Nama gua tuh Auva, lo kenapa sih senang benar manggil gua gitu?” tanyaku dengan kesal.

“Lucu aja, Upa,” jawab Ranaka dengan nada bercanda yang membuatku semakin sebal.

Aku mendengus ketika melihat tatapan menyebalkan dari Ranaka. “Oh, namanya Upa?”

Apa lagi ini ya Tuhan. Dengan cepat aku menatap tak suka pada Ezra, enak saja dia ikut-ikutan memanggilku seperti itu.

Kemudian, aku merasakan bahuku dirangkul oleh seseorang. “Yoi, panggilan dari gua itu, bagus ‘kan?” ujar Ranaka dengan nada puas.

Matamu bagus! pikirku dalam hati, semakin kesal dengan situasi ini.

Aku segera mendorong tubuh Ranaka, masalahnya sekarang aku merasa ada tatapan yang sangat tajam dari seseorang. Tanpa sadar, aku menatap Naka dan memukul bahunya.

“Enak aja lo! Emak gua kasih nama bagus, Auva, malah dipanggil Upa,” ujarku dengan nada kesal. Naka tergelak, membuatku terdiam. Aku baru sadar tadi aku memukul dia di hadapan anggota yang lain.

Mati aku! Kini mereka berenam menatap ke arahku. Sialan, tahu begitu aku lebih baik diam. Aku segera berdeham untuk mengalihkan perhatian.

Zaidan kini berdiri sambil memasukkan tangannya ke dalam saku celananya. “Lo kenapa bisa sama mereka?” tanya Zaidan dengan tatapan mata yang sinis.

“Gua kepepet,” jawabku cepat. Mereka semua mengangguk, sepertinya memahami situasiku.

Sebentar, sepertinya ini kesempatan emas untuk berbicara dengan Alvan. Ah, satu lagi, bagaimana caranya aku menyerahkan bekalku kepadanya? Hanya sebagai bentuk terima kasih saja.

“Em, Alvan,” panggilku dengan nada ragu. Semua mata kini tertuju pada kami berdua.

Aku hanya memanggil satu nama, tetapi kenapa yang lain ikut menolehkan kepala juga? Membiarkan mereka menatapku, aku perlahan membuka tas dan mengeluarkan bekal yang tadi Bunda buatkan.

Aku menyodorkan kotak bekal itu ke arahnya, berharap Alvan akan menerima dengan kerjasama. Aku mohon, karena sekarang tidak hanya teman-temanmu tetapi para murid lain juga tengah menatapku.

"Ekhem, ini buat lo sebagai tanda terima kasih aja." Alvan hanya diam, sementara yang lain saling pandang dengan penasaran.

"Emang gua lakuin apa?" tanyanya akhirnya, membuatku terdiam sejenak.

"Itu ... kemarin lo bantuin gua di UKS," jawabku, merasa gugup.

Suasana menjadi hening. Abyaz, yang melihat Alvan tak kunjung mengambil kotak bekalku, akhirnya mengulurkan tangannya. Namun, belum sempat tangannya menyentuh kotak bekal, Alvan lebih dulu menepis tangan Abyaz.

"Punya gua, enggak sopan!" ujar Alvan tegas.

Alvan mengambil bekal tersebut sambil menatapku dengan datar. "Gua terima," katanya, sontak membuat suasana menjadi ramai.

Lalu aku lihat Abyaz ikut menatapku. "Eh Upa, siapa tadi namanya?"

Aku menatapnya dengan malas. "Auva, nama gua itu Auva, bukan Upa." Dia hanya tersenyum lebar.

"Nah Auva, lo mau enggak gua traktir nanti pas istirahat?" tawarnya.

Aku segera menatapnya dengan heran, begitu pun dengan yang lain. "Lo mau ngapain?" tanya Ezra curiga.

"Lo enggak ada niatan buat deketin dia, ‘kan?" Liam yang sedari tadi diam akhirnya mengeluarkan suara dan menanyakan maksud dari ucapan Abyaz tadi.

"Ada aja, itu juga kalau dia mau," jawab Abyaz sambil tersenyum, tak lupa memberikan tatapan menggoda yang membuatku menatapnya dengan geli.

Bugh!

Tanpa aba-aba, Alvan memberikan pukulan pada perut Abyaz dan pergi begitu saja tanpa sepatah kata pun. Abyaz menunduk, memegangi perutnya sembari menatap kepergian Alvan.

"Si anjir main pukul aja, shh ... sakit bener," keluh Abyaz.

"Mampus!" seru Evan dengan nada geli.

"Lagian main godain depan pawangnya lagi," cecar Zaidan, sementara aku hanya diam mendengarkan saja.

"Ayo, Va, ke kelas. Kalau lo di sini makin gila liat mereka," ucap Naka.

Naka merangkul bahuku dan membawaku pergi dari teman-temannya. Aku hanya memandang kebingungan dengan situasi yang terjadi barusan.

"Va, gua serius, nanti gua traktir lo pas di kantin!" teriak Abyaz dari kejauhan.

Abyaz sialan!

"Nurut aja, kalau lo enggak nurutin kita nanti lo yang nyesel," kata Naka sebelum melepaskan rangkulannya dan pergi meninggalkanku terdiam di tengah koridor kelas.

Maksud ucapannya tadi apa? pikirku dalam hati, masih berusaha mencerna kejadian yang baru saja terjadi. Sambil berjalan menuju kelasku, aku mencoba memahami makna di balik kata-kata Naka. Mungkin ada lebih banyak hal yang harus kupelajari tentang kelompok ini dan cara mereka berinteraksi.

ー TBC ー

ABOUT FEELINGS [END]Where stories live. Discover now