Aku sampai di kelasku. Aku bahkan duduk sendirian. Mana ada orang yang ingin berteman denganku. Aku yang dari kalangan ekonomi kebawah meresa tak pantas berteman dengan mereka. Aku sekolah hanya ingin mencari ilmu belajar dengan giat agar kelak aku dapat membahagiakan ibuku. Hanya ibu sumber kekuatanku. Hanya ibu yang aku kasihi. Walaupun aku tak percaya pada apapun itu. Tapi satu tujuanku, kebahagiaan ibu.

Pukul 07.00 tepat bel berbunyi. Seluruh siswa masuk kelas masing-masing. Dan setelah itu para guru yang mengajar di jam pertama pun masuk dan memulai pelajaran. Aku mendengarkan dengan serius kerena aku duduk di kelas 4 dimana dikalas ini aku tidak bisa main-main jika ingin lulus dari bangku SD ini.
2 jam pelajaran telah berlanjut dan istirahatpun datang.

Aku yang hanya membawa bekal dari rumah mengeluarkan bekalku dari dalam tas sekolah. Aku keluarkan lalu ku letakkan di meja. Aku buka bekalku ini, tapi belum sampai aku memakannya salah satu dari temanku menjatuhkan bekalku. Mengakibatkan tumpah semuanya, padahal itu adalah bekal berhargaku. Aku sudah sangat marah. Aku ingin menghajar orang ini. Tapi tak aku lakukan, walaupun dirinya memancingku untuk berlaku kasar padanya aku tak melakukannya. Aku tak ingin membuat ibuku semakin menderita. Aku tak ingin beliau dipanggil lagi, walaupun mungkin aku dicap remeh oleh mereka aku tak peduli. Aku hanya peduli oleh ibuku. Aku punguti nasi dan lauk yang sudah berceceran tak beraturan ini.

"Mereka jahat sekali, kenapa mereka begitu. Mereka kaya karena orangtua mereka. Aku merasa kalau aku tidak kaya. Mereka anak-anak yang hanya membanggakan harta orangtua mereka." Senyum.

"Deg!" Aku sungguh terkesiap, seorang Luhan yang sangat populer membantuku membersihkan bekalku yang terjatuh di lantai. Tangan mungilnya juga turut memunguti nasi dan lauk yang telah tak berbentuk ini.

"Sudahlah jangan membantu dan sok peduli padaku. Tahu apa kalian ini. Kau sama saja kan dengan mereka, dasar anak orang kaya. Kau jangan mengasihaniku. Aku merasa bagai seonggak sampah dimata kalian. Jadi jangan pernah mengasihaniku." Ucapku keras kepadanya. Aku melihat mata rusanya membola, dan berkaca-kaca. Aku tahu kalau sebentar lagi ia akan menangis. Tapi aku mencoba untuk tidak memperdulikannya.

"Kenapa kau berpikir begitu? Aku tulus membantumu? Kenapa kau mengeluarkan kata-kata seperti itu?" Ujarnya dengan mata berkaca-kaca.

"Membantu, cih! Aku tak butuh bantuanmu, kau ingin membantuku, yang dapat kau lakukan untuk membantuku hanyalah kau cukup menjauh dariku. Aku muak melihat wajahmu itu, TUAN PUTRI."

Deg!

Aku dapat melihat dia shock dengan perkataanku yang mungkin sangat menyakitkan hatinya ini.

"K-kau jahat sekali Oh Sehun, padahal aku ingin menjadi temanmu." Ujarnya lirih dan berlari menjauhiku.

Cih! Teman katanya. Kata-kata itu hanyalah sebuah bualan semata. Aku tak percaya yang namanya persahabatan. Tak ada yang namanya persahabatan sejati toh kelak akan menimbulkan luka. Aku tak percaya, cih! Omong kosong.

.
.
.
.

Setelah kejadian itu, Luhan tak lagi mendekatiku. Aku merasa senang tapi aku sedikit muak sebab Luhan sama saja. Ia bahkan berteman dengan anak-anak yang suka membuliku. Aku tahu, Luhan itu orang yang supel mudah bergaul. Tak ayal banyak yang menyukainya tapi aku tak ingin mendekatinya karena aku tahu diri strata kita berbeda. Aku dan dia berbeda bagai siang dan malam.

Cih! lagi-lagi gerombolan anak yang suka membuliku kembali lagi. Mereka bahkan telah membuat jebakan. Sial, aku yang baru melangkah satu langkah menuju toilet di guyur dari atas oleh mereka. Ternyata mereka telah memasangkannya sedari tadi. Bajuku basah oleh air guyuran itu. Tapi aku selamat kala Jang Songsaenim datang. Songsaenim langsung memarahi mereka dan membawa mereka menghadap kepada sekolah sebab perbuatan mereka padaku sudah kelewatan.

LOOP (HUNHAN)Where stories live. Discover now