01• Bad Start

499 158 87
                                    

Aku hanya sebuah luka yang dipaksa sembuh tanpa obat.

°°°

"Duh kok gak ada," seruan panik itu berasal dari bibir gadis remaja dengan rambut sebahu itu.

Gadis itu tengah sibuk menggeledah lemari di gedung atas sekolah tempat yang biasa digunakan untuk menyimpan barang-barang yang sudah lama.

Karena hari ini senin, dengan terpaksa ia harus naik ke gedung atas karena lupa membawa dasi. Dan tadi ia sempat disarankan oleh teman sekelasnya untuk mencari di gudang ini.

Beritanya dulu banyak dasi yang tersimpan di sini karena kelebihan stok.

"Kok warnanya beda!" Ia kembali berseru panik. Bagaimana mungkin Ia sampai lupa membawa dasi saat hari senin begini? Bisa-bisa Ia berdiri di samping anak-anak nakal di sekolahnya selama upacara berlangsung.

NO! Dia tidak mau!

"Dapet!" Ia kegirangan ketika menemukan barang yang sedari tadi dia cari. Namun seruan itu tidak berlangsung lama. Gadis itu malah tak sengaja mendengar suara isakan dengan tendangan keras di atas gedung.

Panik?

Jelas! Dia tergolong manusia paranoid. Jadi mendengar hal yang agak sensitif di telinga rasanya semua itu ganjal. Apakah itu hantu penghuni sekolahnya?

Dengan segera ia berlari menuju ke luar pintu gudang, namun baru beberapa langkah ia malah dibuat penasaran oleh suara di atas gedung. Rooftop mungkin? Ia juga tak tahu.

"Gak usah takut! Bisa jadi kucing!" serunya menyemangati diri sendiri.

Pasalnya ia penasaran tapi juga takut.

Perlahan ia melangkahkan kakinya menaiki tangga menuju gedung paling atas.

Rasanya ingin berlari saja untuk kabur, tapi kepalang tanggung ia sudah penasaran duluan.

Semakin mendekat, tangisan itu terasa dekat terdengar. Tapi bukan tangisan horor yang biasa ia tonton. Itu suara--laki-laki?

Gadis dengan nametag Haninda Tanara itu perlahan membuka pintu menuju rooftop tersebut.

Benar saja yang ia lihat adalah seorang laki-laki yang tengah berjongkok menghadap ke arah pembatas rooftop yang nampaknya memang tengah menangis.

Suara tangisnya terdengar lirih tapi membuat jantung Hanin berdesir.

Kenapa isakannya terdengar seperti itu?

Dan kenapa juga ia harus menangis di sini?

Tak mungkin tanpa alasankan?

"H--hai?" sapa Hanin pelan. Ia bingung harus bicara apa.

Tak ada jawaban, mungkin pria itu tidak mendengar sapaannya.

Perlahan dengan hati-hati Hanin memegang bahu pria tersebut.

Pria yang tengah membenamkan wajahnya dalam lipatan tangan dengan posisi berjongkok itu. Menoleh kaget pada Hanin yang juga ikut kaget pada reaksimya.

Hening Untuk Bara [TERBIT] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang