Mungkin saat ini kita bisa berkenalan lebih baik. Namaku Auva Ileana. Aku adalah anak dari pasangan suami istri, Satrio Wibowo dan Rasti Fauziah. Selain itu, aku juga memiliki seorang adik laki-laki yang bernama Argantara Prawira, dia baru berusia delapan bulan.

Tumbuh dalam keluarga yang penuh kasih sayang membuat hidupku terasa hangat. Ayahku adalah seorang pengusaha sukses yang selalu mengajarkan nilai-nilai kedisiplinan dan kerja keras. Ibuku seorang wanita yang penuh kelembutan dan kehangatan, selalu menjadi tempatku berbagi cerita dan mendapatkan nasihat bijak. Mereka adalah sosok-sosok yang sangat berarti dalam hidupku.

Sedangkan adikku, meski masih sangat kecil, sudah menjadi pusat perhatian di rumah. Tawa dan tangisnya selalu membawa keceriaan. Setiap kali aku pulang dari sekolah, melihat senyumnya yang polos dan mendengar celotehannya yang belum jelas membuat lelahku seketika hilang. Rasanya, aku tidak pernah merasa sendirian dengan keberadaan mereka di sisiku.

Dari koridor sebelah kanan, tampak seseorang yang sangat aku kenal. Ya, itu adalah salah satu anggota dari geng motor yang cukup dikenal dan dihormati di kotaku, Bradiz Gang. Geng motor ini terdiri dari tujuh anggota inti, dan masing-masing memiliki tugas dan peran mereka dalam kelompok ini. Informasi ini sering aku dengar dari teman-teman sekelas.

Tiba-tiba, aku merasa ada seseorang yang duduk di sampingku. Ketika aku melirik ke samping, ternyata Ranaka, anggota inti ketujuh dari Bradiz, sudah duduk di sebelahku. Ia duduk dengan santai, sambil meminum susu kotak seperti yang selalu ia lakukan. Ini adalah salah satu ciri khas dari seorang Ranaka. Dengan tatapan tenangnya, Ranaka menatap sekeliling koridor seolah-olah tidak ada yang bisa mengganggunya.

Aku diam-diam mengagumi visual Ranaka dari samping, memperhatikan bagaimana dia duduk dengan santainya sambil meminum susu kotak, dengan tatapan yang tenang dan wajah yang khas. Namun, secara tiba-tiba aku terkejut ketika dia segera menoleh ke arahku sambil tersenyum. Dalam sekejap, aku merasa seperti terperangah, lalu dengan cepat memalingkan wajah, merasa malu karena sudah ketahuan menatapnya. Aku berusaha menutupi rasa malu dengan mengalihkan pandanganku kembali ke sekitar, berharap agar kejadian itu tidak terlalu mencolok.

Ditengah kecanggungan setelah kejadian tersebut, ponsel Ranaka berbunyi, menyela keheningan dengan getaran ringan dan bunyi notifikasi. Aku diam-diam mencoba mendengarkan pembicaraan itu sambil terus menatap lingkungan sekolah yang ramai. Mataku bergerak dari satu siswa ke siswa lainnya, mencoba mencari tanda-tanda aktivitas sehari-hari di sekitar kami.

Meskipun hatiku masih terasa berdebar akibat insiden sebelumnya, aku mencoba menenangkan diri dan tetap berpura-pura seolah tidak terjadi apa-apa, sambil tetap waspada terhadap percakapan yang sedang berlangsung di sampingku.

“Apaa? Gua udah di depan kelas ini.”

“Iya, nyari Alvan? Mana gua tahu, gua udah di sini duluan.”

Sepertinya mereka sedang mencari Alvan. Aku tahu dia tadi dibawa oleh pak Broto, tetapi aku tidak tahu ke mana remaja itu pergi, jadi aku memilih untuk tetap diam. Namun, siapa yang akan mengira Ranaka akan bertanya padaku tentang Alvan.

“Eh, lo tau Alvan enggak?” tanyanya tiba-tiba, suaranya mengejutkan.

Aku terkesiap dan menatap wajahnya, “Tadi dibawa sama pak Broto, ke ruang guru mungkin?" jawabku sambil menunjuk tempat di mana Alvan pergi. Wajah Ranaka terlihat sedikit lega dengan jawabanku, dan dia melanjutkan percakapannya dengan peneleponnya. Sementara itu, aku merasa lega bisa memberikan informasi yang tepat, meskipun aku masih merasa sedikit terkejut dengan pertanyaannya.

Tak berselang lama, segerombolan anggota lain terlihat berjalan menuju tempatku bersama Ranaka. Langkah mereka terdengar berat, menyisakan kesan kehadiran yang kuat di koridor sekolah ini. Aku hanya bisa melempar pandangan sekilas kepada mereka, lalu membuang muka ke arah lain untuk menghindari tatapan datar dari wakil Bradiz, yang tak lain adalah Alvan.

ABOUT FEELINGS [END]Where stories live. Discover now