Epilog

19 2 0
                                    

Sebelum tidur, gue ambil guci abu kremasi Arteri dari lemari dan gue pelukin.

"Ri, ini emang yang terbaik untuk kita yah? I won't ever ever forget you. Nama lo bakal selalu ada dalam doa gue sampe kapanpun meskipun suatu saat nanti gue udah punya pacar lagi, tapi untuk saat ini kayaknya gue gak mau punya pacar dulu. Kata Pak Ustadz Jalaludin, pacaran itu termasuk zina kan? Cukup segala perzinaan ini berhenti di kita ya, Ri. Thank you so much udah ngajarin banyak pelajaran berharga. You are my eternal boyfriend, Arteri. Rest in peace, honey."
Gue taruh lagi gucinya di atas laci samping kasur gue. Besok kita bakal makamin lo secara Islam ya, Ri. Don't worry you're safe with us.

Malam ini, gue sholat tahajud sekalian sholat taubat di sepertiga malam. Berharap semoga semua dosa yang pernah gue lakukan, terutama ketika sama Arteri, bisa dimaafkan. Gue harus bisa move on dan mengambil pelajaran dari semua ini.

Besok paginya, gue kabarin mami papi soal Ustadz Jalaludin kemarin. Mereka juga kaget banget Arteri bisa komunikasi sama dia. Jadi sebelum kita kubur Arteri, kita kontak Ustadz Jalaludin untuk memakamkan Arteri bersama kita.

Syukurlah dia bisa dikontak dan kita bisa langsung memakamkan Arteri. Gue cerita ke ustadz kalo gue adalah Abigail yang disebut-sebut oleh Arteri. Responnya bener-bener lembut, menenangkan, tapi juga mengarahkan. Dia bahagia karena Arteri udah jadi mualaf meskipun dia juga bukan saksinya. Dia sudah membimbing Arteri dengan dua kalimat syahadat yang baik dan benar meskipun dia bukan menjadi saksinya karena bisa dibilang case Arteri bener-bener terkurung dan sangat terbatas dalam segala halnya.

Kita memakamkan Arteri di TPU sekitar rumah biar gampang ziarahnya. Gak lupa juga kita kabarin dan video call Vena dari awal sampai akhir proses. Pasti dia masih sedih dan terpukul banget sama ini, but life must go on. Kita boleh sedih-sedih sekarang, tapi gak boleh berkelanjutan.

Gue sendiri gak bisa berhenti nangis pas guci dan abunya dimakamkan. Untung gue masih bisa menahan diri untuk gak gila di tengah-tengah pemakaman. Mami sama papi selalu setia menemani di kanan dan kiri gue. Begitu pula Ustadz Jalaludin yang selama ini ada untuk Arteri dalam soal keagamaan.

Karena udah terlanjur tau tentang kisah gue dan Arteri, Ustadz Jalaludin dengan senang hati mau membimbing gue mulai dari 0 lagi seperti gue kecil. Gue betul-betul mau memulai kembali segala hal yang udah gue rusak.

Iman, mental, dan fisik gue masih gak stabil. Maka dari itu, mami sama papi juga mau fokus untuk membantu gue menstabilkan ini semua. Selain dimbimbing secara rohani oleh Ustadz Jalaludin, mereka juga bawa gue ke psikolog untuk menstabilkan mental gue. Ada beberapa sesi bersama psikolog selama 3 bulan, pas deh sama waktu gue liburan. Tapi dengan ini, gue juga punya rencana lain yang mau gue ungkapin ke mami papi. Gue mau pindah ke kampus di Jakarta aja. Gue mau sama mami papi biar kita bisa saling menjaga. Gue juga mau cabut berkas dari Unpad dan fokus ke diri gue sendiri selama waktu yang tersedia ini.

Singkat waktu, tiga bulan telah berlalu semenjak kejadian itu. Gue udah selesai sesi sama psikolog, tapi enggak menutup kemungkinan juga gue akan menambah sesi lain kalo ada sesuatu yang gue rasa berbeda dari kehidupan normalnya. Di samping itu, gue juga masih terus komunikasi sama Ustadz Jalaludin. Sekarang gue memutuskan untuk memakai hijab dan mendaftar kuliah di kampus Islam Jakarta. Setiap Jumat gue ziarah ke makam Arteri dan pastinya selalu kabar-kabaran sama Vena. Dia udah di Aussie semenjak 2 minggu setelah Arteri dimakamkan di Jakarta. Dia juga udah pamitan sama ibu bapaknya. Vena udah cerita banyak hal ke ibu bapaknya. Kalo mereka udah lebih stabil, mereka mau ke Jakarta untuk ziarah ke makam Arteri.

Hubungan gue sama Aries juga baik-baik aja. Aries sempet ngajak balikan, tapi gue tolak. Bukan karena gue udah gak sayang sama dia, tapi karena gue belajar dari pengalaman dan nasihat dari Ustadz Jalaludin kalo pacaran itu bibit dari zina. Meskipun kita bisa menahan nafsu, tapi sebetulnya pacaran itu sendiri udah tergolong nafsu. Jadi lebih baik menghindari semuanya. Kalo lo sayang sama gue, ya udah nikahin. Gak usah kebanyakan janji. Yah, walaupun selama dia magang di Jakarta, kita masih sempat beberapa kali ketemuan berdua. Gak boleh memutus tali silaturahmi kan? Dia tau betul proses gue berkembang menjadi yang lebih baik dan dia mendukung penuh untuk itu, meskipun konsekuensinya ya kita gak bisa balikan. Bukan karena gak sayang, tapi menaati aturan agama.

Banyaakk banget yang gue dapetin dalam hampir 1 tahun terakhir ini. Gak nyangka hidup gue bakal bener-bener ada di turning point dan rollercoaster kehidupan hanya dalam kurun waktu yang lumayan singkat ini. Ri, lo adalah racun terbaik yang ada di hidup gue. Mungkin gue perlu usaha lebih untuk membersihkan racun tersebut. At least gue jadi tau bagaimana jadi penawar dari serangan racun yang mungkin akan berguna ke depannya.

Lo juga mengajari gue bahwa gak semua orang tua pantes jadi orang tua. Lahir dalam keluarga yang "salah" bener-bener beban hidup yang sangat besar. Lo udah berjuang sejauh ini udah hebat banget sih. Bukan keputusan lo yang buat lo meninggalkan dunia ini seperti apa yang kita semua takutkan. Perjuangan lo untuk meyadarkan kedua orang tua lo gak sia-sia, mungkin cuma sedikit telat aja. But that's okay. It means a lot for your sister.

Semoga lo tenang ya di sana, gue bakal melanjutkan perjalanan lo untuk "bertaubat" supaya kelak kita bisa ketemu lagi di tempat yang terbaik ya, Ri. Once again, rest in peace, my arteries. I will be your eternal venas.

Arteri dan VenaWhere stories live. Discover now