The Family

4 2 0
                                    

Gue menunggu mereka dateng di ruang tamu. Kenapa lama banget mereka gak naik-naik? Masa iya liftnya antri?

Gue masih merasa dissociate sendiri di sini. Seakan apa yang barusan terjadi bukanlah diri gue sendiri. Merasa lepas tanggung jawab atas apa yang terjadi tadi. Semoga itu bener-bener cuma angin lewat meskipun itu sangat amat berpengaruh akan kehidupan gue dan Arteri ke depannya. At least he used a condom and I wouldn't be pregnant on this young age. But it still being a huge problem for our relationship. I don't know. I would never tell anybody about it forever. No one will know about it.

Ketika gue mendengar suara langkah mendekat dan gagang pintu yang hampir terbuka, gue langsung berjalan ke arah pintu buat bukain pintunya dan menyambut Vena.

Ternyata saat pintunya dibuka, yang di depan gue ini bukan cuma Vena dan Arteri, tapi juga ada bapak dan ibunya. Senyum gue tiba-tiba luntur dan silih berganti jadi sangat tertekan. Gue bisa liat ekspresi Arteri yang ikut menegang dan gemetar ketakutan, begitu juga Vena. Kenapa gue liat ekspresi Vena kayak merasa bersalah gitu ya? Jangan-jangan apa yang ditakutin Arteri itu bener?

Secara umur, looks mereka agak beda jauh sama mami papi, tapi gak keliatan kalo mereka itu kayak apa yang dibicarakan Arteri.

"Oh, kamu gak bilang nyimpen cewek di apart?" celetuk bapaknya. ANJJIIIIIIIRRRRRRRR!!!! GILA! KALIMAT PERTAMA AJA UDAH BIKIN GUE SAKIT! First impression gue bener-bener runtuh!

"Ahm, kebetulan abis diskusi tugas bareng, Om, Tan. Saya Vena. Maaf lancang memasuki kamar Arteri." Gue berusaha ramah dan membentengi diri untuk enggak menaruh emosi di sini.

"Oh, enggak papa. Kita udah sering denger nama kamu kok," sahut ibunya sambil memasuki kamar apart Arteri dan melihat seluruh sudut ruangan tanpa terlewatkan. APA MAKSUDNYA SERING DENGER NAMA GUE?! ARTERI AJA GAK PERNAH KOMUNIKASI SAMA MEREKA! OH ATAU....

"Oh iya, Tan hehe." Gue beralih dari ibu dan bapaknya Arteri ke adeknya. "Halo, Vena! Akhirnya bisa ketemu yah!" Gue salaman sama Vena. Dia cuma senyum kecil dan lebih banyak menunduk.

Terakhir, yang paling belakang ada Arteri. Rasanya gue mau bawa dia ke suatu tempat yang sepi dan menanyakan semua ketiba-tibaan ini, tapi kayaknya dia juga gak tau apa-apa tentang ini.

"The world is gonna end," whispered him when he walked by. Holy moly! Should I worry? Should I leave now and let him struggling alone here? No. I can't do that to him.

Mereka berempat duduk di ruang tamu, tapi mata bapak dan ibunya masih berkeliling apart seakan mencari kesalahan meskipun setitik pasir.

"Duduk, Vena," persilakan si om.

"Iya, gampang, Om." Gue duduk di samping Arteri. Gue bisa merasakan getaran di tubuhnya meskipun kita gak bersentuhan. Seketakutan itu dia sekarang. Arteri juga selalu menyilangkan tangannya dan menutupi bekas luka sayatan di tangannya, apalagi lukanya terlihat eksplisit ada nama gue di sana.

"Udah berapa lama kalian pacaran?" Aduh, gue gak tau harus jawab apa ini.... Gue cuma nengok ke Arteri buat melempar jawaban, tapi kayaknya mulutnya terkunci.

"Euhm, kita deket dari awal ospek sih, Om, Tan. Cuma karena beda jurusan jadi enggak seintens itu."

"Oh gitu. Gimana Arteri di kampus?" Padahal ini pertanyaan yang sama yang ditanyakan juga sama mama papanya Aries kemarin, tapi kenapa gue merasa sangat diintimidasi ya?

"Baik, Om. Arteri anak yang berprestasi banget! Jenius lah orangnya! Kalo ada tugas selalu selesai duluan dan biasanya dapet nilai terbaik daripada temen-temennya. Dia juga suka bantuin aku dan temen-temennya kalo ada tugas. Pokoknya dia jadi mahasiswa favorit dosen deh! Seringkali tugasnya jadi contoh buat temen-temennya. Terus di luar akademik pun Arteri aktif banget! Bayangin aja, baru jadi maba udah bisa jadi wakil ketua di proker BEM Unpad! Seinget aku Arteri juga pernah menang olimpiade Fisika gitu, padahal dia kan soshum ya."

Arteri dan VenaWhere stories live. Discover now