Telling The Truth

6 2 0
                                    

Setelah terakhir anterin Teh Venisa ke Hegarmanah, gue bilang ke Aries kalo mau makan dulu di Checo sekalian ketemu sama mami papi gue. Dia mau aja, jadi yaudah kita ketemuan di Checo.

Mami papi udah sampe duluan di Checo dan udah nempatin meja untuk kita berempat. Keinget terakhir kayak gini sama Arteri tuh rasanya nyesek sendiri ya. Bisa gak ya kita kayak gitu lagi meskipun bukan sebagai pacar? Tapi gue masih gak bisa maafin dia.

"Halo, Om, Tan." Aries salaman sama mami papi, sedangkan gue langsung peluk mereka sambil mau nangisss. Sanggup gak ya gue ceritain semuanya tentang gue sama Arteri?

Kita duduk di meja paling pojok dan langsung dipesenin makanan dan minuman sama mami papi.

"Jadi kalian abis dari Kiara Payung?"

"Iya, Om."

"Gimana shooting-nya lancar?"

"Alhamdulilah, lancar semua." Mami papi senyum lega gitu ketika Aries bilang alhamdulilah. Mungkin mereka takut gue ngenalin cowok yang beda agama lagi ya haha.

"Alhamdulillah. Besok masih shooting?"

"Iya, Om. Tinggal satu adegan lagi, tapi pagi-pagi. Jadi kita kumpulnya sekitar jam 6 di apartment City Edge."

"Oh, shooting-nya di apart. Ya udah, gampang. Nanti Vena papi anterin aja ya."

"Oke, Pi."

"Terus kamu gimana ceritanya, Ven sama Arteri bisa putus?" Oh shit. Here we go again. Mood gue bener-bener langsung menyelam ke dasar palung, tapi bukan kesalahan mereka juga buat nanya ini.

"Aku... mau jujur dulu sama kalian tentang apa aja yang udah aku lakuin sama Arteri...." Gue ngomong gini sambil nunduk malu banget. Ekspresi mereka langsung tegang sampe memajukan kursi mereka mentok ke meja.

"Euhm, Ven. Kalo kamu gak pengen aku ada di sini, aku bisa pindah dulu kok."

"It's okay. Aku udah cerita ini kan ke kamu?"

"Okay...."

Gue menarik napas dalam untuk membuka lembaran kisah pahit ini lagi.

"We... we have too much physical interactions. That was making us bounded too tight. If you ask if we have had sex or not, no we haven't had sex." Mereka sedikit lebih lega, meskipun masih takut sama kelanjutannya.

"Kita sering nginep bareng. Bahkan aku sampe punya kartu akses dan kunci kamar apart Arteri, tapi sekarang udah aku balikin. Dia pernah juga nginep sekali di kosan aku, kayaknya kalian udah tau sih yang ini pas ditegur sama ibu kos. Terus kita juga pernah nginep di salah satu hotel bintang 4 yang ada di Bandung berdua. Bahkan dia tidur di kamar aku waktu aku balik ke Jakarta dan Arteri ikut ke Jakarta bareng Aries, Hanif, dan lainnya. Aku minta maaf banget karena aku tau itu salah, tapi masih aku ulangi terus." Gue mau nangis pas mami juga udah mau nangis.

"Kita gak mau langsung judge kamu, tapi itu gak make sense kalo kamu sering tidur bareng dia, tapi enggak berhubungan badan. Secara kalian itu pacaran, bukan temen, sahabat, atau saudara. Terus di mana letak too much physical interactions-nya?"

"Itu make sense kalo kita cuma cuddle. Our love languages were physical touch. So it makes sense. Tapi kita gak senaif itu juga buat berhenti sampai di situ. Ini yang cukup membuat hubungan kita jadi lebih berisiko. We just like... you know... teasing around sometimes and a lot of kisses happened there.... And the climax was when we were on the hotel in Bandung. Itu salah banget sih emang dan waktunya gak tepat banget. Kita sama-sama tau hubungan ini lagi berisiko tinggi, tapi aku yang ajakin hang out dan nginep di Bandung karena ada satu orang yang mengusik pikiran aku dan aku gak mau dia bikin hubungan aku dan Arteri semakin renggang. Jadi aku mau lebih bonding sama Arteri biar lupa sama orang itu." Gue sesekali melirik ke Aries ketika ngomongin ini. Dia kayaknya menyadari hal ini, tapi gak meresponnya. Mami papi juga kayaknya bisa nebak siapa orang itu.

Arteri dan VenaWhere stories live. Discover now