Bab 23

7.4K 965 77
                                    

Aku membantu Ana memakai sepatunya. Kami sudah selesai menunaikan ibadah magrib. Tinggal menunggu Kak Dean yang belum kunjung keluar. Setelah membayar tadi, Kak Dean mengajakku ke mushola restoran. Aku kembali dibuat ternganga. Almarhum Mbak Alya sungguh hebat, dia bisa merubah Kak Dean menjadi sangat amat baik sekarang. Dia yang dulu membiarkanku sendirian mencari mushola, kini malah dia yang menuntunku kemari.

"Langsung pulang, ya."

Aku menoleh, lantas menunduk cepat. Kak Dean sudah duduk di sampingku dan memakai sepatunya. Jantungku berdegup tidak karuan. Mungkin jika Ana sedang memegang stetoskopku, dia akan bilang kalau dadaku sedang berteriak.

"Masa' mainnya cuma sebentar."

Ana memeluk pinggangku. Kami jadi seperti tersiram lem hingga saling menempel erat. Anak ini tengah merajuk.

"Tante Dian pasti capek, Sayang. Tante harus istirahat, besok masih kerja lagi. Ana besok juga masuk sekolah 'kan?"

Aku yakin saat berucap, Kak Dean menoleh ke arah kami. Suaranya amat sangat dekat, embusan napasnya bahkan dapat kurasakan membentur jilbabku. Jarak kami memang tidak sampai menempel, tapi cukup dekat.

"Hoam."

"Tuh, udah ngantuk juga 'kan? Tadi siang disuruh bobo dulu aja nggak mau." 

Serunya lagi ketika Ana menguap satu kali. Kuusap-usap punggungnya perlahan-lahan. "Besok-besok kita bisa main bareng lagi, Sayang." tuturku menambahi. Ana mendongak, matanya sudah berair dan agak merah. Sepertinya dia memang sudah kelelahan.

"Janji ya, Tante."

Ana menunjukkan jari kelingkingnya yang kecil. Apa anak ini sedang meniruku? "Iya Tante janji." Kutautkan jariku di sana. Kami tertawa lagi dan tiba-tiba dia mencium pipiku.

"Makasih, Tante cantik."

"Sama-sama Ana cantik."

___

Aku dan Ana duduk di belakang karena anak itu benar-benar tidak bisa menahan kantuknya. Kepalanya di pangkuanku, kuusap pelan-pelan, tidurnya sudah pulas meski di dalam kendaraan yang sedang berjalan. Sedari tadi banyak menunduk membuat leherku terasa pegal. Aku mengangkat kepalaku hanya agar leherku tak semakin kaku. Tak sengaja mataku melihat kaca tengah dalam mobil. Bertepatan dengan Kak Dean yang juga sedang menatap di objek yang sama. Tatapan kami kembali bertemu lewat pantulan kaca. Dia tersenyum simpul lalu kembali fokus mengemudi. Aku, aku memilih kembali menunduk. Ya Tuhan, mengapa jika berada di dekatnya membuatku jadi seperti kutu yang siap dipithes begini.

"Coba nangis lagi kayak kemarin."

Suaranya yang pelan tetap terdengar di telingaku, sangat jelas karena suasana memang hening. Deru mesin ataupun bunyi dari luar tak sampai masuk ke dalam mobil ini. "Apaan, sih." sewotku kesal. Kenapa kejadian kemarin harus diungkit lagi?

"Lho kok ke rumahku dulu?" tanyaku saat mobil melaju lurus, harusnya berbelok jika akan ke rumahnya.

"Kamu mau berduaan sama aku?"

"Kak, aku serius. Nanti kalau aku turun duluan, terus Ana gimana?"

Di saat seperti ini dia masih saja bisa bercanda. Jika aku pulang dulu, siapa yang akan memegangi badan Ana yang tertidur ini.

Sekelumit RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang