Bab 20

7.1K 896 33
                                    

Satu minggu berlalu, sore ini aku ada janji dengan kak Indra untuk mencarikan kado ulang tahun untuk Nadia. Dia bilang esok lusa Nadia akan pulang dan bingung mau memberi hadiah apa untuk adiknya itu walau sebenarnya ulang tahun Nadia sudah lewat sejak dua hari yang lalu. Aku bersedia membantunya semata untuk membalas budi baiknya yang telah mengantarku ke rumah Tante Lis ketika Ana rewel. Berkat dia, aku bisa sampai di sana. Dan secara tak langsung, berkat dia pula Ana jadi mau makan.

Selesai belanja, kami makan bersama. Menu kali ini adalah makanan jepang, enak, tapi aku sedang tak berselera. Rindu ini, mengapa semakin membuncah. Sedang apa dia sekarang? Apa dia makan dengan baik? Ana, Tante kangen sama kamu sayang.

"Yan, aku nanti mampir ya."

Aku mendongak menatapnya. Seharusnya aku sudah tak terkejut lagi, tapi nyatanya aku masih terbatuk-batuk karena kaget hingga tersedak. Mungkin jika dihitung sudah ada puluhan kali Kak Indra ingin bertemu dengan mama untuk menyatakan keseriusannya berhubungan denganku. Seharusnya aku suka dan bersyukur.

"Aku serius sama kamu. Aku mau kita lanjut ke jenjang pernikahan. Nggak apa kalau kamu masih belum siap, yang penting aku ketemu sama mama kamu dulu."

Kak Indra, terbuat dari apa hatimu itu? Mengapa ada orang yang sesabar kamu? Kurasa, aku telah terlalu lama menggantungkan perasaanmu.

"Iya, Kak. Mama hari ini ada di rumah kok." jawabku pada akhirnya dan membuat senyum manisnya terbit seketika bersamaan dengan lesung pipi yang kukagumi. Hidup dengan pria ini di sisa usiaku, bahagia, itulah satu kata yang langsung muncul dalam benakku. Semoga saja.

Aku mengikutinya menuju parkiran depan. Tak sejajar, aku mengekorinya agak di belakang seperti anak kecil yang mengikuti ibunya. Dari sini aku bisa melihat bentuk badannya. Punggungnya lebar, bahunya tegap, tinggi proposional. Kurasa jika tidak menjadi dokter, dia sangat pantas menjadi abdi negara.

"Hei lihat ada Tante dokter."

Suara yang kukenal mampir di telinga. Aku menoleh ke samping, ternyata ada Ana dengan neneknya yang baru turun dari mobil. Anak ini yang kurindukan sejak tadi, atau lebih tepatnya sejak kemarin-kemarin.

"Yan."

"Sebentar, Kak." ucapku menyahuti Kak Indra. Pria itu malah ikut berhenti. Tak apa, aku hanya ingin memeluk Ana. Ingin menyalurkan kerinduanku. Mungkin ini adalah yang terakhir kali sebelum aku benar-benar menerima Kak Indra.

"Hai Ana." sapaku sambil melangkah mendekati anak lucu itu. "Mau belanja, Tan?" kulontarkan basa-basi kepada Tante Lis. Beliau mengangguk, senyumnya yang selalu ramah terpeta indah di lekukan bibirnya yang dipoles pewarna merah tua yang tak terlalu tebal. "Ana juga mau belanja?" tanyaku lalu agak menunduk agar bisa lebih dekat melihat wajahnya yang cantik. Tanganku mencubit pipinya dengan pelan. Pipinya sudah kembali bulat dan gembul, sangat menggemaskan.

Bergeming. Diam saja. Biasanya dia akan tersenyum, salim kemudian langsung memelukku. Tapi kini dia malah mengacuhkanku. Kedua matanya yang bulat tidak mau menatap padaku. Ya Allah, kenapa dia?

"Ana, salim dulu dong sama Tante dokter dan Om."

Melengos tak acuh kala neneknya memerintah. Bocah itu malah berlari menghampiri ayahnya yang baru keluar dari mobil. Sekilas matanya lalu menatapku, sinis dan tajam. Kenapa kamu, Ana? Tante salah apa?

Sekelumit RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang