Bab 21

7K 1K 47
                                    

Kak Dean mengantarku pulang setelah menurunkan Tante Lis dan Ana di depan rumah. Ana tidak ingin lepas dariku ketika kami seharusnya berpisah di depan Mal. Hingga akhirnya aku ikut mereka, mengantar pulang mereka berdua dulu karena jarak rumahnya yang lebih dekat dari pusat perbelanjaan ketimbang ke rumahku. Lagipula Ana sudah harus segera istirahat. Sebetulnya, Ana masih susah dilepaskan. Baru setelah diberi pengertian kalau aku harus pulang dan diberi janji jika besok kami akan bertemu lagi, dia mau berpindah ke gendongan sang nenek. 

"Berhenti di depan aja, Kak. Biar aku pulang sendiri."

Sesak. Dadaku rasanya sangat sesak. Berada dekat dengannya, tapi tak dianggap ada. Lebih baik aku menyudahinya sekarang saja. Mengakhiri rasa sepihakku yang telah lama.

"Udah malem, aku anter sampai rumah."

Aku menatap ke arah jendela, tak mau menoleh ke arahnya yang berada di samping kanan. Mataku sudah mulai panas. Meremang dan siap jatuh hanya dengan satu kedipan. "Nanti aku minta jemput Kak Indra aja. Dia tadi katanya mau ketemu sama mama." Aku mengaku jujur sambil merogoh gawaiku di dalam tas di pangkuan. Semoga saja Kak Indra tidak merasa jika sedang kumanfaatkan. Aku hanya ingin lepas dari pria batu di dekatku ini. "Kak!" teriakku saat tiba-tiba Kak Dean merebut ponselku lalu menaruhnya di sisi kanan badannya. Menindihnya, mungkin.

"Kamu serius sama dia?"

"Balikin hapeku!" Aku mengulurkan tangan, tidak mungkin aku merebutnya. Selain jauh dari jangkauan, akan sangat berbahaya jika aku melakukannya. Kami sedang berkendara di jalan raya.

"Kamu serius sama Indra?"

Suaranya terdengar berat, rahangnya juga mengetat. Kenapa dia? Apa dia cemburu? Apa dia tidak terima?

Aku kembali menatap jendela. Tidak mungkin jika Kak Dean cemburu. Dia sama sekali tidak ada rasa padaku. "Tadinya belum, tapi sekarang mau aku seriusin aja. Toh orang yang aku suka juga nggak peduli sama aku." Kututup mulutku dengan punggung telapak tangan, bukan menyesali ucapan yang baru terlontar. Sudah terlanjur jika aku menarik diri. Harga diriku sudah jatuh sejak aku menyatakan perasaanku padanya di pesta pernikahan Lintang. Air mata mulai menggenang. Aku terisak pelan. Aku memang secengeng itu sekarang. "Berhenti, Kak. Aku mau turun." pintaku lagi. Tidak mungkin aku memaksa membuka pintu di saat kendaraan ini masih melaju. Aku tidak mau mati konyol. Setelah ini aku akan melepaskan rasa yang membelitku. Aku akan hidup bahagia.

Bukannya menepi, kecepatan mobil ini malah semakin tinggi. Tangisku pun semakin deras. Hatiku semakin tersiksa.

"Aku mau pulang. Ngapain malah dibawa ke sini?" tanyaku sambil mengusap pipi ketika dia malah membawaku ke rumah Mas Arya. Apa dia mau mengadukanku pada kakak lelakiku itu? Mengadukan semua kelakuanku selama ini yang menaruh hati padanya? Sungguh, jika dia memang tidak mau menerimaku, dia hanya tinggal mengatakannya saja. Mas Arya tidak perlu tahu. Aku tidak mau menambah beban pikirannya.

"Turun dulu." suruhnya masih terdengar tenang dan malah melepaskan sabuk pengaman yang melindungi tubuhnya sendiri. Sama sekali tak menggubris permintaanku.

Aku menggeleng. Aku tidak mau sampai Mas Arya tahu. Aku, aku malu.

Pintu di sampingku dibuka dari luar. Aku masih bergeming tak mau berpindah posisi. Kepalaku tadi sudah mendapat ide cemerlang, membuka sabuk pengaman lalu berpindah ke bangku pengemudi. Aku akan mencuri mobil ini untuk kubawa pulang. Namun, ide itu langsung buyar ketika mataku tak menangkap kunci kontak yang terpasang. Si pemilik sudah mencabutnya.

Sekelumit RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang