Bab 3

8.8K 1K 10
                                    

"Tante, beli robotannya sekarang aja, yuk."

Kulihat lengan kiriku yang ditarik-tarik oleh Kafka. Anak itu kembali merajuk padaku. Secara tak langsung sudah menyadarkanku.

___

"Emang Mbak Tiara ke mana, Mbak?" tanyaku saat kami semua sudah dalam perjalanan menuju sebuah Mal. Kafka memang tidak bisa dibantah kalau sudah berkeinginan. Persis sekali macam bapaknya.

"Di rumah sakit."

Dapat kulihat Mbak Kinan melirik keadaan di belakang di mana anak-anak bahkan masih duduk anteng. Satu hal lagi yang tidak berubah darinya, Mbak Kinan terlalu mudah khawatir.

"Ngapain di rumah sakit, Mbak?" Aku ingin tahu. Apa Mbak Tiara sedang sakit? Kalau iya, aku nanti harus menjenguknya.

"Habis lahiran tadi pagi."

"Hah!"

Kaget, tentu saja. Mbak Tiara sudah punya tiga anak yang usianya terbilang masih kecil. Juna, Juno dan Juni... Kuperkirakan jarak usia mereka juga tidak jauh.

"Kamu sekarang kok kagetan sih, Dek."

Mbak Kinan tertawa lagi. Astaga, apa memang aku sekarang selucu itu? Aku tadi hanya kaget, tapi untung saja aku tidak latah sampai menginjak gas lebih dalam atau mendadak menginjak rem, contohnya. Ada banyak nyawa di dalam mobil ini. Kami pergi tidak memakai mobilku, terlalu kecil dan tidak akan muat. Mobil tipe MPV dengan pintu belakang yang digeser ini memang khusus dibelikan Mas Arya untuk Mbak Kinan.

"Aku cuma kaget, Mbak. Kak Raka kok ngegas terus, ya."

Lagi-lagi Mbak Kinan tertawa. Terdengar di telingaku meski aku tak menoleh. Aku harus fokus menyetir. Jalanan siang ini sedang padat.

"Bukan ngegas, Dek. Dulu mereka sampai dua tahun nikah 'kan belum dikasih momongan. Tiara cerita sama aku sih katanya emang belum KB. Cita-cita mereka nanti mau punya anak lima."

Hah ....

Kembali aku terkejut akan penuturan kakak iparku itu, tapi kali ini hanya di dalam hati. Lima anak? Astaga. apa Mbak Tiara tidak kewalahan jika nanti salah satu menangis dan diikuti oleh yang lainnya?

"Terus kalau orang tuanya Ana, Mbak?" tanyaku lagi. Aku melirik kaca tengah mobil di mana ada anak kecil bermata bulat tertangkap dari pantulannya. Dia duduk dengan tenang. Kedua matanya terus menatap ke arah luar.

"Kerja."

"Oh." jawabku singkat. Tak mau jika Mbak Kinan sampai menaruh curiga.

Aku, Aisha Dianitha Pramono memang menyimpan sekelumit rindu padanya. Merindukan pria yang sudah kutolak pernyataan cintanya delapan tahun lalu dan kini telah memiliki seorang istri. Aku merindukan segala perhatian dan kejahilannya padaku. Hanya rindu, tidak lebih. Aku pun tak berniat menjadi pelakor. Jangan sampai aku jadi duri dalam rumah tangga orang lain. Nauzubillah.

Alasanku menolaknya waktu itu adalah karena selain aku masih kuliah, aku juga merasa canggung. Tidak mungkin sahabat kakakku yang berjarak sepuluh tahun itu menjadi pendamping hidupku. Kala itu, aku memang belum memiliki rasa. Kak Dean adalah teman Mas Arya sejak mereka duduk di bangku sekolah menengah pertama. Di antara yang lain, dia yang paling sering menjahiliku. Menarik rambutku yang kukepang satu di belakang. Mencubit pipi dan hidungku dan menyembunyikan alat tulisku. Aku hanya menganggapnya seorang kakak saking sudah terbiasanya kami dulu bertemu. Lagipula tidak mungkin dia bisa sabar menunggu sampai aku berhasil menggapai cita-cita. Aku masih harus menyelesaikan pendidikan awal, koas, internsip dan berlanjut mengambil jurusan spesialis anak. Dan itu sangat-sangatlah lama.

Perasaan aneh mulai muncul ketika aku tak sengaja membaca sebuah undangan pernikahan di meja keluarga di rumah Mas Arya. Tertulis nama pria itu dan seorang perempuan yang menjadi pemeran utama.

Sakit hati? Tidak. Aku biasa saja. Hanya waktu itu aku merasa marah. Ya... Marah. Bulan sebelumnya dia baru menembakku, menyatakan keseriusannya padaku. Namun, dia ternyata hanya membual. Beruntung aku tak menerimanya.

Katanya dunia itu luas, tapi menurut teori bentuknya tetap bulat. Sejauh apapun kaki melangkah jauh. Menghindar dari selatan menuju ke utara. Ketemunya tetap itu-itu saja. Pria itu ternyata adalah kakaknya Lintang, teman baruku di Fakultas Kedokteran. Aku tahu ketika pertama kali diajak Lintang ke rumahnya untuk mengerjakan tugas. Dan apa, aku bertemu dengannya di sana. Dia... bersama calon istrinya.

Mulai menghindari Lintang adalah hal terbodoh yang pernah aku lakukan. Aku sempat menjauhinya demi mengusir bayang-bayang kakaknya yang kian hari kian tak sopan. Kak Dean, selalu masuk ke dalam pikiran alam bawah sadar. Pertemuan tak sengaja di beberapa tempat membuatku makin lama semakin membencinya.

Aku, Aisha Dianitha Pramono membenci Dean Giriandra.

Sekelumit RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang