Bab 18

6.5K 905 67
                                    

Lintang Ayu Puspagiri, amat sangat cantik dengan dandanan minimalis dan juga kebaya putih hijau mudanya. Sahabatku yang satu itu sudah akan melepas masa lajang. Yang kudengar darinya dua minggu yang lalu saat ia datang ke rumah, si Samsat, calon suaminya sekaligus mantan musuh bebuyutannya itu sekarang sudah menjadi seorang dokter bedah. Benar bukan, dokter berpasangan dengan dokter tidak akan pernah habis masa jodohnya.

Acara pernikahan Lintang dilaksanakan di sebuah gedung hotel tak jauh dari tempatnya tinggal. Aku tak tahu bagaimana mereka bisa mempersiapkan acara pernikahan ini sebegitu cepatnya. Hanya tiga minggu, ya... tapi kurasa semuanya akan mudah jika uang sudah berkuasa. Uang bisa memerintah siapa pun dengan mudah.

Dua hari lalu aku sempat ingin mengingkari janjiku pada Lintang. Aku akan berpura-pura ke luar kota dan tak bisa menghadiri pernikahannya. Namun, Aku mengurungkan niat jahatku itu. Kami sudah lama berteman baik, tidak mungkin aku membuatnya kecewa. 

Aku, jujur tidak siap bertemu kak Dean lagi setelah kejadian di undakan anak tangga di depan rumah mas Arya. Waktu itu ternyata ada kak Raka yang memergoki tingkah konyolku. Dia yang sedang membukakan pintu mobil untuk mbak Tiara malah berteriak tak tahu aturan, bapak empat anak tersebut menyuruhku berkedip diiringi tawa jenaka. Kurasa aku memang tak berkedip saat menatap kak Dean yang berjalan naik. Dan parahnya saat aku menoleh ke belakang, kak Dean dan Ana masih ada di halaman. Rasanya waktu itu aku ingin tenggelam saja ke dalam lautan. Saat acara akikahan berlangsung, aku bahkan tak berani mengangkat kepala. Untung mbak Tiara yang duduk di dekatku tidak membeberkan semuanya. Bebeda dengan kak Raka, dia selalu menggodaku saat mendapatkan kesempatan. Kak Raka juga pura-pura menanyai Ana, apakah anak itu mau ibu baru atau tidak, sambil melirikku. Aku malu, sumpah.

"Tante."

Ana menyadarkanku dari ingatan konyolku. Aku menatapnya, dia mengangsurkan sebuah anting emas padaku.

"Copot." ucapnya singkat dan aku langsung paham. Kupasangkan anting itu di telinga kirinya. Anak ini sejak pagi tadi memang selalu menempel padaku. Tante Lis dan ayahnya sibuk menyambut para tamu undangan.


___

Kak Dean duduk di hadapan calon adik iparnya. Tidak ada wajah slengean seperti yang dulu lagi. Dia yang sekarang juga irit bicara. Pria itu sangat tampan dan nampak berwibawa. Setelan jas hitamnya melekat pas pada tubuhnya yang tinggi. Rambutnya pun ditata rapi. Kutundukkan pandanganku. Oh Allah, maafkan aku yang sudah zina mata ini.

Prosesi ijab kabul berjalan cepat dan lancar. Tak perlu mengulang sampai kata sah terucap dan langsung disambung dengan doa. Kak Dean yang menjadi wali dari adiknya pun menunaikan tugasnya dengan apik. Acara langsung disambung dengan resepsi. Padat merayap, itu karena waktu libur si mempelai pria tak begitu banyak, katanya lusa mereka sudah akan berangkat bulan madu. 

Aku terus memperhatikan Ana ketika ayah dan neneknya sibuk di atas pelaminan. Sepasang pengantin itu sedang sungkem. Kak Dean tetap menggantikan posisi Almarhum ayahnya. Dan aku di sini, semakin tak bisa mengelak dari perasaan. Aku ingin dia, bersanding berdua seperti Lintang dan Samudra.

Gundah, galau, merana menderaku selama tiga minggu ini. Aku terus saja memikirkannya. Bayang-bayangnya selalu hadir kapan saja. Ditambah bayangan anak selucu Ana. Ya Tuhan, sungguh aku ingin jadi ibunya.

Aku meninggalkan kerumunan teman seperjuanganku di kampus dulu, mereka juga diundang oleh Lintang dan baru datang saat acara resepsi. Kugiring Ana seusai ia berfoto bersama pengantin, menuju meja di sisi kanan gedung. Kuambilkan makanan untuknya. Sejak tadi pagi aku belum melihatnya makan nasi. Semua orang sibuk sendiri hingga melupakan perut kecilnya juga harus diisi.

Sekelumit RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang