Bab 11

6.3K 735 21
                                    

Acara dimulai ketika semua tamu undangan yang tak seberapa ini telah hadir semua. Anak-anak sudah memakai topi kerucut berwarna-warni. Senada dengan hiasan pita-pita dan balon yang dipasang memeriahkan tempat ini. Lagu ulang tahun dinyanyikan bersama-sama, belum sampai selesai, lilin sudah ditiup oleh Juni terlebih dulu, mendahului si bintang utama.

"Cuniiiiiiiiiiil!" Teriakan dari Kafka membahana. Wajahnya nampak merah padam, kedua tangannya mengepal, marah.

Pluok ....

Kafka mengambil kue tart langsung dengan tangannya lantas melemparkannya kepada Juni. Tepat di bagian perutnya. Mengenai taburan manik-manik yang terpasang cantik di gaun pesta warna biru muda.

"Papa... Bajuku... Huaaaaaa ...."

Pecah. Seketika acara menjadi riuh. Anak-anak lain tertawa sambil menunjuk muka Juni yang menangis kencang. Ara bahkan sampai memegangi perutnya sendiri. Pun begitu dengan Gibran, Juna dan Juno. Ana meraih kotak tisu dan memberikannya kepada Kak Raka yang berjongkok di depan sang puteri, membersihkan gaun pesta anaknya, tapi bahunya juga berguncang karena ikut tertawa. Di dekatnya ada Mbak Tiara yang sepertinya tak sanggup menahan tawa.

Kafka, badannya sudah ditahan oleh Mas Arya lagi. Anak itu masih ingin melempari Juni dengan kuenya sehingga Mama berinisiatif segera menjauhkannya agar tak bisa dijangkau oleh cucunya tersebut. Sementara Mbak Kinan, dia berdiri di depan anak lelakinya dan membersihkan tangan Kafka yang belepotan krim kue. Mbak Kinan tersenyum sangat lebar, mungkin ingin ikut tertawa tapi masih ingin menjaga perasaan anaknya. 

Aku, aku menutup kedua telinga Janu. Anak ini tertidur di pangkuanku sejak tadi. Mataku menyapu seluruh sudut. Tak sengaja, aku melihat Kak Dean yang duduk di salah satu kursi yang mengitari meja bulat di taman. Meja kursi yang khusus disiapkan untuk tamu undangan di acara ini. Pasang matanya memang menatap ke arah kerumunan anak, tapi tak ada tawa macam yang lainnya. Jangankan tertawa, seulas senyum pun tak nampak. Aneh, dulu biasanya dia yang sering sekali tertawa bahkan jika tak ada hal lucu sekalipun.

Mataku enggan berpaling darinya. Lancang, aku memindai perubahan dalam dirinya yang bisa kutangkap. Kak Dean sekarang jauh lebih kurus dari yang kuingat delapan tahun lalu. Pipinya yang dulu agak berisi kini menirus, mempertegas garis rahangnya, jambang halus menghiasi. Rambutnya juga nampak agak berantakan. Dia seperti tidak mau mengurus badannya sendiri. Mendadak aku ingat kepada seseorang, Mbak Alya, ke mana dia sebenarnya? Kenapa tidak ikut kemari merayakan pesta ulang tahun Kafka?

Cukup lama aku hanya terdiam. Tiba-tiba Kak Dean menoleh, menatapku.

Cepat saja aku menunduk. Beberapa detik kami sempat bersitatap. Dia memergokiku yang sedang memperhatikannya. Oh Tuhan, harus ditaruh di mana mukaku ini ....

___

Acara selesai lebih awal. Para tamu undangan telah meninggalkan rumah ini tak terkecuali keluarga sahabat-sahabat Mas Arya. Tinggal aku dan mama yang masih tinggal. Kami nanti memang berencana akan menginap di sini. Hari sudah hampir magrib, sebentar lagi gelap. Aku pun malas menyetir mobil untuk pulang.

Anak-anak cukup senang meski kue utama telah hancur dan tak layak untuk dimakan. Cupcake yang dipesan Mbak Kinan juga sama enaknya dengan kue ulang tahun Kafka. Aku yakin jika anak-anak dari keluarga berada ini pasti sudah sering memakan kue, tapi menurutku yang namanya anak-anak tetaplah anak-anak. Kue dan bingkisan tetap jadi hal pertama yang dinanti-nantikan dari sebuah acara ulang tahun.

Sekelumit RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang