Bab 15

6.1K 902 44
                                    

"Alhamdu ...."

"Lillah."

Aku dan Ana selesai makan. Kuusap lagi sisi-sisi bibirnya yang agak belepotan. Ana makan banyak karena diam-diam aku tadi telah menambahkan sate dan potongan lontong milikku ke piringnya.

"Ayo minum dulu."

Kuberikan botol air mineral yang tadi kupesan, kepadanya. Dia meminumnya dengan hati-hati dan tak sebanyak tadi. Pasti perutnya yang kecil sudah sangat penuh. Setelahnya, aku lalu mengangkat tanganku memanggil pramusaji. "Berapa, Mbak?" tanyaku sembari mengambil dompet di dalam tasku. Wanita hamil itu pun menyebutkan total harga makanan yang sudah kami habiskan. Aku membayarnya dengan selembar uang merah. Dia kembali ke mejanya, memintaku untuk menunggu sejenak selagi ia mengambil kembalian.

"Maaf, Bu. Apa saya boleh meminta sesuatu kepada Ibu?"

Dahiku mengernyit bingung seraya menerima uang darinya. "Minta apa ya, Mbak?"

"Saya lagi hamil, Bu."

Tidak diberitahu pun aku sudah tahu. Perutnya sudah besar sejak aku datang tadi.

"Saya suka sama anak Ibu. Apa boleh saya minta kalau anak Ibu yang cantik ini pegang perut saya? Se-kali aja, Bu. Biar nanti anak saya ketularan cantik kayak adiknya ini."

Tubuhku menegang. Anak Ibu? Anakku? Menikah saja belum, mana mungkin bisa punya anak? Lagipula, bagaimana bisa hanya lewat sentuhan di permukaan perut bisa menularkan kecantikan? Sentuhan tangan itu bisa menyalurkan virus dan kuman, bukan rupa wajah. Ternyata wanita hamil yang ngidam ingin dielus perutnya itu bukan hanya isapan jempol belaka. Aku, dulu juga pernah mengelus-elus perut besar seorang wanita hamil, atas permintaannya sendiri.

Aku baru ingin menanyai Ana, tapi anak itu malah sudah memegang perut wanita pramusaji tersebut. Tak hanya satu kali. Ana malah mengusapnya berulang kali. "Ada dedek bayinya ya, Tante?" Ana bertanya kepada wanita itu, bukan padaku. Wanita itu mengangguk semangat. Matanya yang tadi sayu, mungkin karena kelelahan, mendadak bersinar cerah. Ana memang anak ajaib. "Kayak perut Tante Kinan." sambung anak itu lagi. Tak kalah semangat dengan si wanita hamil.

___

Kami telah sampai di taman tempat, berpisah dengan Lintang tadi. Jarum pendek pada jam di pergelangan tanganku telah mencapai angka lima, tapi batang hidung sahabatku itu belum nampak. Ke mana dia, apa dia lupa jika meninggalkan seorang keponakan di sini. Aku lalu mengajak Ana duduk di sebuah bangku sambil berusaha menghubungi Lintang. Bukan bangku di bawah pohon, tapi bangku semen yang berada tak jauh dari mobilku. Aku mendekap tubuh Ana dari samping ketika angin sore berembus makin kencang. Anak itu tadi hanya memakai dress selutut berlengan pendek. Aku tak mau kalau dia sampai kedinginan.

Baru aku ingin mengajak Ana kembali masuk ke dalam mobil. Rencananya aku akan mengajaknya pulang, nanti aku akan menghubungi Lintang agar menjemputnya di sana saja. Namun, sepasang kaki panjang membuatku urung berdiri. Aku mendongak, Kak Dean, berdiri di depan kami dengan setelan kerjanya yang masih lengkap.

"Papa ...." Ana menjerit lalu meloncat menghambur ke dalam pelukan Kak Dean.

Aku berdiri dengan kikuk. Entahlah, mau digoreng atau direbus, aku akan pasrah. Ini bukan sepenuhnya salahku, tapi aku tetap merasa tak enak hati. Aku sudah mengajak Ana bermain terlalu jauh dari rumahnya, sampai sore begini. "Kak, tolong jangan marah dulu, tadi Lintang minta ak ...."

Sekelumit RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang