Bab 6

7.9K 1K 13
                                    

Meninggalkan kerumitan di Mal tadi. Sampai di rumah, aku lantas duduk di sofa. Mengangkat kedua kakiku naik dan meluruskannya. Aku ini dokter anak, aku sebenarnya suka dengan anak-anak. Namun, nyatanya baru mengikuti mereka berjalan keliling Mal saja sudah membuat kakiku terasa sangat pegal. Kepalaku juga berat. Aku, tidak sesabar Mbak Kinan.

"Anak-anak, cuci tangan dan kakinya. Terus bobo siang dulu, ya."

Kudengar suara Mbak Kinan yang kembali mengatur anak-anak.

"Juna sama Juno ikut ke kamar Kaf. Ana sama Juni ikut ke kamar Kak Ara, oke?"

"Oke."

Jawaban anak-anak sangat kompak. Hebat, Mbak Kinan lebih dari itu. Menenangkan banyak anak dalam sekali waktu tidaklah mudah.

"Kamu mau tidur di situ, Dek?"

"Enggak, Mbak. Nanti aku pindah." jawabku. Ada satu kamar tamu di rumah ini sudah seperti kamarku sendiri. Aku bebas keluar masuk.

"Mbak mau naik dulu, ya. Mau istirahat."

Aku mengacungkan ibu jari, biarlah ibu hamil itu istirahat. Mbak Kinan pasti juga kecapekan.

___

Pukul setengah lima sore, aku selesai mandi. Pakaianku ternyata masih tersimpan rapi di lemari bersama pakaian mama. Jadi, tidak ada alasan untukku untuk tidak membersihkan badan yang lengket. Malam ini aku ingin menginap di sini saja. Mama sedang ke Surabaya, rumah sepi, aku tidak mau sendirian.

Samar-samar kudengar suara seseorang di luar yang sedang berterimakasih kepada Mbak Kinan saat aku hampir membuka pintu. Urung, aku tak jadi keluar kamar. Aku akan menunggu sampai pria itu pergi dari rumah ini. Aku tidak mau bertemu dengannya.

Ya... Kak Dean ada di rumah ini. Dia mungkin akan menjemput Ana.

"Kirain ikut Mama ke Surabaya."

Aku keluar setelah memastikan Ana dan bapaknya benar-benar telah pergi dengan telingaku. Mas Arya lantas memberiku satu pertanyaan yang kujawab dengan gelengan. Pria itu baru pulang dari kantor. Terlihat dari tas jinjing di tangan kirinya. Aku mencium punggung tangannya, kakak lelakiku ini adalah pengganti papa. Dia yang dulu sempat salah arah kini menjadi sosok kepala keluarga yang tak jauh berbeda dengan Almarhum papa, pengertian, penyayang dan berwibawa. "Capek terbang mulu." tuturku memberikan alasan. Sejujurnya, aku hanya tidak mau dicecar banyak kata dari saudara-saudara mama. Usiaku sudah dua puluh sembilan tahun, aku yakin basa-basi di acara arisan keluarga itu tak akan jauh-jauh dari yang namanya pernikahan. "Aku nanti nginep di sini ya, Mas."

Mas Arya hanya mengangguk, dia lalu melanjutkan langkah. Di dekat meja makan sudah ada istrinya yang siap menyambut. Manis sekali mereka.

"Assalamualaikum."

"Wa alaikumussalam." Menoleh ke samping belakang, mencari asal suara yang datang. Ada seorang anak lelaki yang menggendong ransel hitam. Dia lantas menghampiriku yang tengah duduk di sofa ruang keluarga.

"Gibran, ya?"

Bocah itu mengangguk. Seulas senyum terpeta di wajahnya. "Tante Dian lupa sama Gibran?"

Aku tertawa kecil dan mengibaskan sebelah tangan. Hampir, aku memang hampir lupa padanya. Aku baru ingat dengan cerita Mbak Kinan tadi siang dalam perjalanan pulang. Gibran, dua bulan terakhir ini anak itu akhirnya ikut tinggal bersama ayah kandungnya, tanpa dipaksa. Katanya Gibran ingin menemani sang ayah yang sedang sakit. Gibran akan datang kemari setiap akhir pekan dan menginap. Baru di awal pekan akan kembali pulang ke rumahnya sendiri. Bocah itu, memang jauh lebih dewasa dari umur sebenarnya. Kemuliaan hatinya luas bagai tak berujung. "Nggak mungkin lah kalau Tante lupa sama kamu, Gib."

"Ah Tante Dian masih manggil Gibran gitu terus."

Rajukannya kembali membuatku tertawa. Dia memang tidak suka jika kupanggil dengan tiga huruf depan namanya.

"Lihat kunci mobil gue nggak?"

Aku dan Gibran sama-sama menoleh. Mungkin hal yang sama juga dilakukan Mas Arya dan Mbak Kinan dari tempat mereka. Lelaki tinggi itu, lelaki yang susah payah tadi kuhindari malah muncul lagi. Bersama Ana yang ikut muncul di belakangnya. Masih sambil memeluk Pipi.

Kak Dean... sekarang sudah punya buntut.

"Tadi lo taruh mana?"

Pertanyaan dari Mas Arya membuka pandanganku yang terkunci. Aku kembali duduk menghadap televisi lurus-lurus. Aku tak mau melihatnya lagi.

"Perasaan tadi nggak gue lepas. Gue cuma naik ke sini, sambil nunggu Ana turun gue duduk di ...."

Telingaku mendengar ucapannya yang tertahan. Aku merasa jika dia sedang menunjuk ke arahku.

"Di, ada di situ nggak ya, kuncinya?"

Ya Tuhan, cobaan apa lagi yang Kau berikan kepada hamba-Mu ini?

Aku beranjak bangun lalu melihat ke bawah bekas bagian sofa yang kududuki tadi.

"Ini kuncinya ada." Gibran berseru seraya mengambil benda silver itu dan memberikannya kepada si pemilik.

Pantas saja dari tadi seperti ada yang mengganjal di bawah bokongku. Kukira hanya mainannya Kafka, rupanya itu benda yang berbeda. Kak Dean berlalu pergi bersama Ana, lalu Gibran berlari menuju ayah dan ibu asuhnya. Meninggalkanku sendirian yang masih ternganga.

Sekelumit RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang