Bab 10

6.8K 780 21
                                    

Hari-hariku kembali seperti sedia kala, seperti sebelum Ana dirawat. Semingguan ini rasanya jadi sepi. Biasanya aku akan melihat Ana yang berbicara dengan dua sapinya. Lalu ia akan bertanya ini dan itu saat aku memeriksanya. Kadang ia meminta ijin memegang stetoskopku sebentar. Tak hanya Ana yang jadi pasienku, tapi aku juga menjadi pasien uji cobanya.

"Makin gede aja, Bu."

Aku menoleh kepada rekan sejawatku yang baru keluar dari ruangannya. Kami memang janjian akan makan siang bersama. Namanya Hanum, seorang dokter spesialis kandungan. Usianya tiga tahun di atasku. Akhir-akhir ini kami memang lebih akrab.

"Yang gede apa, Kak?" tanyaku karena tak paham.

Kak Hanum menunjuk bagian atas wajahku. Ya, di dahiku bagian kanan memang sedang tumbuh jerawat yang ukurannya cukup mengganggu penampilan. Sudah hampir empat hari ini tidak mau hilang meski setiap malam selalu kuoles krim khusus untuk jerawat. Biasanya krim itu sangat ampuh sekalipun aku dalam masa akan menyambut periode datang bulan. Dioles malam paginya sudah mengempis sendiri, tapi kali ini seperti sulit sekali dienyahkan. Padahal periode bulananku baru selesai sepuluh hari yang lalu. "Nggak tahu harus pakai apa lagi nih, Kak. Susah banget ngilanginnya. Tanganku udah gatel mau mencet aja."

"Jangan, Dek. Biarin mateng dulu." ucapnya diiringi kekehan kecil. Aku yang mendengarnya hanya bisa cemberut. Memangnya jerawatku ini buah yang sedang diperam hingga bisa matang sendiri. Kurasa Kak Hanum jadi ikut aneh macam jerawatku yang tiba-tiba membandel.

__

Aku dan Kak Hanum kompak menoleh kepada seorang pria yang duduk di ujung meja, di antara kami berdua. Kak Indra dengan senyum manis yang memunculkan lesung pipinya tengah duduk di sana.

"Boleh gabung, ya?"

Aku hanya bisa mengangguk. Meja dan kursi di kantin ini milik umum. Ngomong-ngomong, setelah terakhir dia mengantarku pulang sore itu, kami belum bertemu lagi. Apa dia sengaja mendatangiku di sini?

"Gimana seminarnya, Kak?"

Kutoleh Kak Hanum yang bersuara. Dia menatap Kak Indra dengan senyum manis dan pasang mata yang berbinar, seperti memuja. 

"Lancar jaya." Kak Indra mengacungkan ibu jari tangannya. Seminar? Seminar apa maksudnya?

"Aku lihat di channelnya, wah Kak Indra keren banget." Gantian Kak Hanum yang mengacungkan ibu jarinya, sekaligus dua. Dan senyumnya masih belum menyurut.

Aku menggaruk alisku yang mendadak gatal. Di antara dua orang ini aku jadi seperti kambing congek yang tak tahu apa-apa. Apa sebaiknya aku pergi saja? Tapi perutku sudah sangat lapar.

___________

Robot-robotan kembali menjadi pilihanku sebagai kado ulang tahun untuk Kafka. Sebenarnya aku hanya tak mau memikirkan lebih lama lagi untuk hadiahnya. Aku bingung karena mainan Kafka sudah sangat banyak. Daripada tak membawa apa-apa dan anak itu nanti merajuk, lebih baik tetap membawa satu macam kado. Jika dia ternyata sudah punya, biarkan saja, aku tidak tahu apa saja mainan yang ia miliki.

Perayaan ulang tahun Kafka hanya dilaksanakan di taman belakang rumah. Sepertinya, tak banyak pula yang diundang. Kulihat hanya ada keluarga Kak Raka, Kak Dean dan beberapa tetangga yang kadang-kadang sempat berpapasan denganku jika aku kemari.

Sekelumit RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang