Bab 17

6.2K 902 43
                                    

"Terima kasih, Bu Dokter."

"Sama-sama Hanifa sayang." 

Kuusap kepala Hanifa, teman kecilku yang dulu terlambat bicara itu kini telah pandai. Kuangsurkan tiga buku dongeng untuknya. Sore ini adalah pertemuan terakhir kami. Setelah ini sudah tidak ada terapi yang harus dijalani Hanifa lagi.

Sama seperti Hanifa, ibunya juga mengucap terima kasih padaku. Dia pun bercerita jika sekarang sudah mundur dari pekerjaannya dan memilih fokus mengurus rumah tangga. Ibunya Hanifa memberiku satu kantung kain berukuran sedang. Isinya enam toples kue kering, produk usahanya dari rumah. Katanya, sebagai ungkapan terima kasih karena sudah membantu Hanifa. Hngg, itu sudah jadi tugasku.

Tok tok tok.

Lima menit setelah Hanifa dan ibunya pergi, pintu ruanganku diketuk dari luar. Aku yang sedang memebereskan meja menyuruh, entah siapa yang di luar itu untuk masuk. Kak Hanum yang muncul, senyuman manis menghias wajahnya yang selalu cantik. "Aku boleh masuk ya, Bu dokter."

Aku tergelak kecil. Mengapa jadi lucu jika yang mengatakan itu adalah Kak Hanum. Kami sama-sama seorang dokter. "Silakan Bu dokter." balasku mencandainya. Kupersilakan ia duduk di bangku seberang meja. Aku duduk anteng. Melipat kedua sikuku di atas meja. Kupasang mata dan telingaku baik-baik. Ingin tahu apa gerangan yang membuatnya sampai kemari.

"Dek, aku... aku ...."

"Ada apa, Kak?" tanyaku karena ia malah mengulur-ulur waktu. Yang kutangkap, dia nampak gugup.

"Aku boleh minta tolong sama kamu?"

Aku lantas mengangguk. Tentu saja, jika aku bisa membantu, pasti akan kubantu. "Kakak sakit? Mau diperiksa?" tukasku pada akhirnya meski dia bukanlah anak-anak lagi. Tapi jika dia sakit ringan, dia harusnya sudah bisa mencari obat sendiri. Apabila dia sakit keras, tentu bukan aku yang akan dikunjunginya.

Dia menggeleng cepat sambil kedua tangan mengibas di depanku. Kegugupannya makin kentara. "Kamu deket sama Kak Indra 'kan?"

Tubuhku berjengit mundur, menegang. Mengapa malah Kak Indra yang ia tanyakan?

"Aku mau minta bantuan kamu."

Aku mengangguk ragu-ragu. Masih menunggu kata-kata selanjutnya.

"Tolong comblangin aku sama Kak Indra."

Hah?
Apa?
Nyomblangin?
Yang benar saja?

"Ya minimal deketin aku sama Kak Indra gitu aja lah, Dek."

Mungkin Kak Hanum paham dengan wajah kagetku. Bukankah mendekatkan dan nyomlangin itu tak beda jauh?

Aku mengangguk, masih ragu-ragu. Aku sudah pernah menanyai Kak Indra tentang Kak Hanum, tapi jawabannya malah tak nyambung. Mau dengan cara apa aku mendekatkan mereka. Aku menghadapi situasiku sendiri dengannya saja sudah bingung.

"Makasih ya, Dek. Aku tahu kamu pasti mau bantuin. Aku udah naksir dia dari lama, tapi aku mana mungkin berani deketin dia. Nggak berkelas banget cewek duluan yang deketin cowok."

Lho, bukannya memang itu yang selama ini ia lakukan. Di mana ada Kak Indra, dia juga selalu ada. Bahkan tentang kegiatan Kak Indra pun dia juga tahu.

"Malah kamu yang baru di sini bisa langsung akrab sama dia. Tapi katanya kamu emang udah lama sih ya kenal sama dia."

Hanya anggukan kepala yang bisa aku berikan. Sejak aku koas, kami memang sudah saling mengenal. Waktu itu dia adalah dokter residen. Dia kakaknya temanku. Eh, dari mana Kak Hanum tahu jika aku sudah mengenalnya sejak lama? Apa dia juga diam-diam mencari informasi tentang aku?

Kak Hanum sudah keluar. Aku lalu meraih gawaiku yang sedari tadi terus berdenting. Ada pesan dari mama, isinya malam ini akan menginap di rumah Mas Arya lagi. Aku disuruh langsung ke sana. Empat puluh hari setelah anak ketiga kakakku itu lahir, hari ini akan ada acara akikahannya.

Sekelumit RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang