Bab 19

6.2K 959 28
                                    

Dua bulan sejak hari pernikahan Lintang. Aku belum bertemu dengan kak Dean maupun Ana lagi. Aku memilih menghindar, menyibukkan diri dengan pekerjaan dan saat libur ikut mama di acara sosialnya. Aku juga sengaja tak pergi ke rumah mas Arya meski aku sangat merindukan ketiga keponakanku. Mas Arya, kak Raka dan kak Dean adalah sahabat kental. Ditambah sekarang anak-anaknya yang juga seumuran. Aku tidak bisa memprediksi kapan mereka akan di sana. Daripada saat aku ke sana dan bertemu kak Dean lagi, lebih baik aku menahan rindu sejenak kepada keponakan-keponakannku.

"Aku nggak nyangka, ya!"

Menoleh ke arah kiri kala telingaku mendengar suara yang cukup menusuk. Kak Hanum, semingguan ini dia sudah bersikap sinis padaku. Aku memang sudah memperkirakan jika cepat atau lambat dia pasti akan menemuiku untuk bicara empat mata. Siapa lagi kalau bukan tentang Kak Indra.

Aku telah berusaha untuk mendekatkan mereka. Saat bertemu dengan Kak Indra, aku selalu memberinya kode jika Kak Hanum menyukainya, tapi lagi-lagi dia bisa dengan mudah mengalihkan pembicaraan ke topik lain. Sebulan terakhir ini intensitas pertemuanku dengan dokter bedah anak itu memang semakin sering karena kami kembali menangani pasien yang sama. Seorang bayi yang menderita penyakit Hirschsprung, penyakit bawaan lahir yang tergolong langka. Bayi bisa tidak buang air besar karena gangguan pada usus besar yang menyebabkan feses terjebak.

"Duduk dulu, Kak. Malu dilihatin orang." ucapku lalu menutup rekam medis salah satu pasienku dan kembali memberikannya kepada seorang perawat di nurse station. Aku berlalu melewati Kak Hanum dan duduk di bangku tunggu. 

Kak Hanum telah duduk di sampingku, jarak satu kursi dariku. Aku tahu karena kursi sambung empat ini bergerak sedikit. "Kamu jadian sama dia?" tanyanya, suaranya sudah agak pelan.

"Kita lagi nanganin pasien yang sama." ucapku membela diri. "Aku udah berusaha bilang ke Kak Indra tentang kakak, tapi Kak Indra sering nggak nyahut. Aku udah nggak tahu harus gimana lagi. Mungkin kakak sendiri yang harus jujur sama dia." imbuhku lagi. Tidak mungkin jika aku mengatakan jika kak Indra menyukaiku, bahkan sebelum kak Hanum meminta tolong padaku. Bisa-bisa dia langsung murka di lorong ini.

"Kamu suka sama dia?"

Sekilas aku meliriknya, jika aku suka sudah kuterima sejak dulu pernyataan cinta kak Indra. Hatiku saat ini sedang patah, dipatahkan oleh kak Dean. "Dia senior aku, baik, pinter. Dia juga banyak bantuin aku. Kami kerja di rumah sakit yang sama. Nggak ada alasan buat aku nggak suka dia. Tapi... suka yang aku maksud bukan karena cinta. Aku udah anggap dia sebagai kakakku sendiri."

"Hah, bullshit."

Kuangkat kepalaku dan menatapnya. Sorot matanya sangat sinis menusuk netraku. Aku tidak sedang bicara omong kosong. Salah besar jika dia berpikir hanya dia yang tengah patah hati. Hatiku pun sedang sama patahnya. "Terserah kakak mau percaya atau nggak. Yang penting aku udah berusaha." Kutinggalkan kak Hanum. Kepalaku sudah pusing memikirkan masalah asamaraku sendiri. Dia malah datang dan menambah beban pikiran.

___

Sore tiba, jam kerjaku telah usai. Sambil berjalan ke luar, aku membuka aplikasi layanan ojek online, ingin memesan. Hari ini aku tak membawa mobil sendiri. Mobilku sedang di servis di bengkel. Di rumah memang ada mobil Almarhum papa, tapi sedang dipakai mama untuk mengunjungi panti asuhan.

"Dian."

Aku terus berjalan dan pura-pura tak mendengar. Kak Indra, tolong jangan kejar aku dulu. Aku tak mau bila kak Hanum nanti melihat kita.

Sekelumit RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang