"Turun dulu, Di."

"Mau ngapain ke sini? Aku minta maaf kalau udah gangguin Kak Dean. Tolong jangan bilang apa-apa ke Mas Arya." Aku menangkupkan kedua tanganku, memohon dengan linangan air mata yang sudah tidak bisa ditahan-tahan. Aku sungguh ketakutan membayangkan kemurkaan Mas Arya jika mengetahui adiknya ini kegatelan mendekati seorang duda.

Kak Dean membuka pintu makin lebar. Raut wajahnya sangat datar. Sepertinya memang sudah habis kesabaran. Mendadak aku mendapatkan satu ide yang lain. Aku akan melepaskan sabuk pengaman, turun dari mobil lalu berlari kabur dari sini. Ya, kurasa itu bukan ide yang buruk untuk dilakukan. Jarak rumah Mas Arya dengan gerbang perumahan memang agak jauh, tapi aku yakin bisa pulang dengan selamat. Nanti aku akan meminta tolong penjaga keamanan di depan sana untuk memesankan ojek daring. Ya, ini pasti akan berhasil. Masalah ponsel yang dibawa di tangan kirinya itu, biarkan saja. Aku nanti bisa membeli yang baru.

"Kak!" 

Kakiku baru melangkah dua kali, tapi tangan kanannya malah sudah berhasil menahanku. Selanjutnya, tanpa kata, dia malah menyeretku naik ke teras. Aku meminta tolong kepada satpam khusus di rumah Mas Arya, tapi dia malah menggeleng dan masuk kembali ke dalam posnya.

"Kak, tolong jangan begini. Aku ngaku salah. Aku minta maaf." Aku masih memohon. Sengaja mengakukan badan agar bebannya semakin berat. Cengkeraman di pergelangan tangan kiriku malah semakin kuat dan membuatku kesakitan. Tarikannya juga semakin kencang. Dan dia tetap membisu.

Terlambat. Usahaku memohon telah sia-sia. Pintu tinggi itu sudah terbuka dari dalam, dibuka oleh Mbak Kinan. 

"Lho, Kak... Dek ...."

Aku menutup mulutku dengan satu tanganku yang masih bebas, berjongkok di belakangnya. Menangis sejadi-jadinya. Dapat kulihat Mas Arya yang berjalan ke arah luar. Kututup erat kedua mataku. Tamat sudah riwayatku hari ini.

"Ada ap... Breng***! Lo apain adek gue?"

"Astagfirullah, Mas... Mas."

"Gue suka sama adek lo."

Menghentikan tangisku sejenak, aku lalu membuka mata. Mas Arya sudah menarik kerah kaus Kak Dean, satu tinjunya terhenti di udara, Mbak Kinan berhasil menahannya. Dan apa yang Kak Dean katakan tadi? Dia menyukaiku?

"Gue suka sama adek lo... Gue sayang sama Dian."

Kak Dean mengulanginya lagi dan kini aku pun bisa mendengarnya dengan sangat jelas. Dia benar menyukaiku? Dia menyayangiku? Rasaku tidak bertepuk sebelah tangan?

Mas Arya menyuruhku masuk. Aku dituntun Mbak Kinan menuju kamar. Bahuku terus diusap-usapnya. Mungkin agar aku bisa lebih tenang. Saat sampai di depan pintu, aku menoleh ke belakang, terlihat dua pria itu yang juga masuk ke dalam rumah. Selebihnya, aku tidak tahu apa-apa. Aku tidak bisa mendengar percakapan mereka dari sini. Mbak Kinan meninggalkanku sendiri. Hanya sebentar dan ia lekas kembali dengan membawa segelas air minum untukku.

"Udah, cup cup cup."

Mungkin Mbak Kinan menganggapku sebagai salah satu anaknya ketika aku kembali terisak di bahunya. Dia mengusap-usap punggungku cukup pelan. Dan jujur hal itu sama sekali tidak membantu sedikit pun. Aku masih merasa takut. Aku takut kalau Kak Dean dipukul oleh Mas Arya. Aku takut jika nanti setelah memukul Kak Dean, Mas Arya akan gantian mengeksekusiku. Lalu mengadukanku pada mama dan mbak Ari.

Pintu kamar terbuka tak begitu lama setelah aku menyelesaikan tangisku. Selain lelah, kepalaku juga mulai pening. Mas Arya mengulurkan ponselku dan Mbak Kinan lah yang menerimanya. Setelah menaruh gawai itu di sampingku, Mbak Kinan malah beranjak ke luar. Mbak, tolong jangan tinggalkan aku. 

Ujung kasur yang kududuki bergerak ketika Mas Arya duduk di sampingku. Aku tidak bisa menebak suasana hatinya karena aku tidak berani melihatnya. Aku hanya bisa tertunduk dalam. Siap dengan apapun reaksinya.

Cukup lama Mas Arya tak segera membuka suara. Aku ikut diam, untuk bernapas pun aku berusaha sepelan mungkin.

"Kamu juga suka sama Dean?"

Tenggorokanku rasanya serat. Seolah ada kerikil kecil yang tiba-tiba berada di sana. Aku bingung mau menjawab apa. Bingung juga dengan ke mana perginya keberanianku yang tak tahu malu itu.

"Dia bilang sama Mas kalau dia serius suka sama kamu. Dia mau memperistri kamu."

Kepalaku sontak mendongak, menoleh pada Mas Arya. Hanya sebentar dan aku buru-buru menundukkan kepalaku lagi. Apa hanya itu yang Kak Dean katakan? Apa dia tidak mengadukanku? Apa dia tidak membeberkan semua kelakuanku?

"Dean orangnya bertanggung jawab, sayang sama keluarga. Mas yakin kalau dia bisa jagain kamu dengan baik. Mas yakin kalau dia nggak akan nyakitin kamu. Tapi, kamu juga harus siap kalau nantinya nggak cuma kamu yang ada di hatinya."

Mbak Alya... aku tahu maksud Mas Arya. "Aku tahu kok, Mas." cicitku lirih, mengenyahkan kerikil kecil yang mengganjal. Aku tahu sampai kapan pun Mbak Alya tidak akan tergantikan.

"Ya udah, kamu tidur di sini aja. Biar Mas yang telpon Mama."

Aku mengangguk pelan. Kuikuti langkah Mas Arya dengan pandanganku. Pintu ditutup dan kini aku sendirian di kamar ini. Hal yang kutakutkan tadi, nyatanya tidak terbukti. Mas Arya bahkan tidak menyentuhku. Dia nampak biasa saja mengetahui bahwa aku menyukai sahabatnya. Atau memang sebenarnya kakakku itu sudah tahu sebelumnya?

Bersambung.

Pencet bintangnya jangan lupa 🤭
Terima kasih.

Sekelumit RinduWhere stories live. Discover now