"Dian."

"Eh, iya, Kak." Akhirnya aku berhenti saat langkahnya berhasil menyamaiku. Nyengir, pura-pura baru mendengar panggilannya.

"Udah mau pulang?" Aku mengangguk menjawab basa-basinya. "Aku antar, kamu tadi nggak bawa mobil 'kan?

Aku buru-buru mengibaskan tanganku. Tidak mungkin, kak Hanum pasti akan semakin marah jika dia melihatku masuk ke mobil kak Indra. "Nggak usah, Kak. Malah ngerepotin kakak nanti." tolakku halus. Aku tersenyum kikuk. Tadi pagi saat aku sampai di rumah sakit, kami memang berpapasan di halaman. "Aku udah mau pesen taksi." Kupamerkan gawaiku yang masih berada di aplikasi layanan jasa antar jemput.

"Udah dapet drivernya?"

Aku melihat layar ponselku, ternyata tulisan sedang mencari driver belum selesai sejak tadi. Nyengir lagi, aku sekarang jarang memakai aplikasi ini. Jadi aku tak tahu harus menunggu berapa lama untuk bisa mendapatkan seorang driver. Layar ponsel tiba-tiba berganti dengan pemberitahuan panggilan, Lintang AP sedang memanggilku. Ada apa dia? Biasanya dia hanya akan mengirim pesan. Tanpa berpindah tempat, kuangkat saja panggilan itu setelah menunjukkannya sekilas pada pria itu. Aku harap kak Indra akan bosan menunggu dan pergi dengan sendirinya. "Halo, Assalamu alaikum, Lin. Ada apa?"

"Wa alaikumussalam, Di." Terdengar jawaban cepat dari Lintang. Dia sepertinya sedang panik. "Di, kamu lagi sibuk nggak sekarang?"

"Enggak... aku ini lagi mau pulang. Emang ada apa?" jawabku jujur.

"Boleh minta tolong nggak, Di?"

"Minta tolong apa?" tanyaku santai menanggapinya. Tidak mungkin jika dia akan meminta tolong untuk menjaga Ana lagi. Kami sedang tidak bersama dan dia Lintang juga sudah menikah dan tinggal di Bandung bersama si Samsat. Dia tidak mungkin akan kencan diam-diam lagi.

"Aku tadi ditelpon sama ibu. Katanya tiga hari ini Ana rewel terus."

Aku memasang telingaku baik-baik sambil menggaruk dahiku yang tiba-tiba terasa gatal. Kalau Ana rewel, memangnya apa hubungannya denganku. Aku memang merindukannya, tapi aku tidak akan bisa melakukan apapun. Kalau dia sakit, baru aku bisa menolongnya dengan bertindak sebagai orang yang mengobatinya. Eh, Naudzubillah jangan sampai Ana sakit lagi.

"Katanya Ana nanyain kamu terus, Di. Nggak tahu dia maunya apa, tapi dia terus manggil nama kamu."

Deg, jantungku seolah berhenti sesaat setelah mendengar penuturan dari Lintang. Ana mencariku?

"Sebenernya aku nggak enak kalau ngerepotin kamu. Tapi, kamu bisa nggak kalau sebentar aja mampir ke rumah. Tolong ketemu sama Ana. Kalau aku ada di Jakarta pasti udah aku ajak ketemu kamu dari kemarin. Tolong ya, Di... Please."

"Iya, nanti aku mampir." putusku tanpa berpikir panjang lagi. Setelah Lintang mengucap terima kasih dan salam, sambungan pun terputus.

"Ada masalah darurat?" 

Kak Indra langsung kepo dan aku hanya mengangguk. Ternyata dia masih sabar menungguku. Jempolku mencari driver lagi. Kali ini sengaja mencari ojek motor saja daripada taksi yang tidak dapat-dapat. Yang penting aku bisa segera sampai di rumah Tante Lis. 

"Aku bisa anterin kamu lho, Yan. Daripada nunggu ojek dan nggak dapet-dapet."

Aku mendongak menatapnya. Menimbang-nimbang apakah sebaiknya aku menyetujuinya. Tapi bagaimana bila nanti kak Hanum melihatku saat masuk ke mobil pria ini. Bagaimana kalau nanti aku langsung dijambak olehnya.

"Kamu bisa bayar aku nanti. Anggap aku ini driver taksi, oke?"

Aku mendecak pelan. Kak Indra, bisa-bisanya dia bersikap sebaik ini padaku. "Oke, jangan nolak kalau nanti aku kasih uang ke kakak." ucapku pada akhirnya menyerah mencari ojek lewat aplikasi. Mungkin mereka semua sedang mendapat pelanggan. Jam pulang kerja memang jam yang sangat sibuk.

__

Aku sampai di rumah Tante Lis dengan diantar oleh kak Indra. Dalam perjalanan tadi aku sudah menceritakan perihal pembicaraanku dengan Lintang di telepon. Kak Indra hanya mengangguk-angguk, tanpa membalas kata.

Kuucap salam dan tak menunggu lama pintu lantas terbuka. Muncul Tante Lis yang tidak seperti biasanya, beliau nampak sedih. Mendadak aku jadi semakin khawatir dengan keadaan Ana. "Tante, aku tadi ditelpon Lintang ...." Belum sampai aku menyelesaikan ucapan, Tante Lis malah mengangguk-angguk dan langsung merangkul bahuku lalu dituntun masuk, bersamaan dengan suara mobil yang memasuki halaman. Pasti itu bapaknya Ana yang baru pulang kerja karena tadi tak ada satu pun mobil yang terparkir di halaman.

Tante Lis langsung membawaku ke ruang keluarga di mana televisi super lebar itu menyala menampilkan film kartun, tapi penontonnya malah tak mau melihatnya. Ana duduk lesu sambil memeluk lengan sofa, menumpukan dagunya di sana, seperti sedang melamun.

"Ana." lirih kupanggil namanya. Matanya sontak mencariku. 

"Tante dokter." Ana menjerit, berdiri dan lantas menghambur ke pelukanku. Kemudian menangis tersedu-sedu. Aku panik, inginku usap air matanya, tapi anak ini tak mau melepaskan leherku. "Tante ke mana aja? Ana kangen."

Kubalas pelukannya erat. Air mataku ikut turun setelah mendengar pengakuan polosnya. Kalau boleh jujur, aku juga sangat merindukannya. Namun, aku tidak bisa seenaknya datang kemari demi bisa bertemu dengannya.

"Ana sering main ke rumah Kak Ara, tapi nggak pernah ketemu sama Tante lagi. Apa Tante marah sama Ana?"

Aku menggelengkan kepala, mana mungkin aku bisa marah kepadanya. Pelan-pelan kudorong bahunya, kuusap kedua pipinya yang menirus lagi. Ya Tuhan, apa dia juga tidak mau makan? "Maaf, Tante lagi banyak kerjaan, Sayang. Jadi Tante belum bisa main ke rumah Kak Ara." dustaku.

Ana masih sesenggukan, bahunya naik turun. "Tante nggak marah sama Ana?"

Kembali aku menggeleng. Kenapa dia bisa berpikiran seperti itu? "Nggak mungkin lah kalau Tante marah sama Ana."

Ana menghambur memeluk leherku lagi. Sama kencangnya seperti tadi. "Habis nyuapin Ana, Tante langsung pergi. Ana cariin udah nggak ada lagi."

Astagfirullah, jadi gara-gara itu Ana berpikir jika aku marah padanya. Tidak sayang, Tante pergi bukan karena kamu, tapi karena ayahmu yang sekarang kerasnya seperti batu itu.

Kurang lebih selama satu setengah jam aku berada di rumah Tante Lis. Setelah menenangkan Ana, aku pun menyuapinya lagi. Tante Lis bilang jika seharian ini Ana belum makan. Sambil kupangku, anak cantik itu mau makan. Setelahnya, dia tertidur pulas lalu Tante Lis membawanya naik ke kamar. Aku pun sekalian pamit pulang. Kak Indra sedari tadi masih menungguku.

"Terima kasih, Di."

Suara Kak Dean terdengar begitu kakiku menginjak lantai teras. Sejenak aku berhenti, tapi kemudian aku melangkah lagi tanpa membalas ucapannya. Terserah dia mau menilaiku seperti apa. Saat ini aku sedang marah padanya.

Bersambung.

Bab ini nggak ditarget vote, tapi kalau vote-nya cepet banyak, update bab selanjutnya pasti juga lebih cepet 🤭

Terima kasih 🙏

Sekelumit RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang