31.

49 30 2
                                    

Aku menunggu hasil diagnosaku setelah selesai konsultasi. Aku memutuskan untuk membeli kopi di salah satu vending machine di rumah sakit ini dan meminumnya di kursi tunggu yang luas. Aku menatap sekitar, beberapa pasien serta walinya sedang ikut menunggu panggilan dari suster suster yang bertugas di depanku.

Aku iri, sangat iri. Semua orang disini didampingi keluarganya saat berobat, sedangkan aku dibiarkan sendiri melakukan pengobatan yang tentu menyakitkan seperti ini. Saat aku menghela nafas beberapa kali untuk mengurangi rasa cemas dan rasa tidak enak lainnya di dadaku, aku merasakan ada menepuk pundakku beberapa kali.

"Saya boleh duduk di sebelah?" ucap seorang gadis yang terlihat lebih tua dariku. Aku terkejut karena ia nyaris mirip denganku, hanya beberapa hal seperti rambut bergelombangnya saja yang berbeda denganku.

"Ah tentu kak" uharku sambil mempersilahkannya duduk. Kulihat dia membawa almamater kampus yang sama dengan milik kak Dimas, dan dengan percaya dirinya aku bertanya kepadanya.

"Dari jurusan mana kak?" ucapku tiba tiba.

"Ah, aku dari jurusan Psikologi jawabnya yang sepertinya ia menyadari bahwa aku mengenali almamater yang ia pegang.

"Ah beda rupanya" gumamku.

"Iya kenapa?"

"Eh, anu, tidak apa apa"

Setelah itu suasana menjadi awkward. Aku menatap sekitar sambil menunggu namaku dipanggil untuk mendapat surat hasil pemeriksaan barusan. Namun lagi lagi aku dikejutkan dengan sebungkus gummy bear yang tiba tiba gadis itu letakkan di pahaku, hal itu lantas membuatku menoleh padanya.

"Pasti baru pertama kali ke poli jiwa, ya?" ujarnya sambil tetap menatap ke depan.

"Eh?"

"Saya sudah jadi pasien langganan disini, jadi saya tahu mana yang pasien lama dan baru. Juga gelagat tubuhmu sangat menunjukkan kalau kamu baru pertama kali kesini" ujarnya yang membuatku menganggukkan kepala perlahan.

"Aku biasanya juga sering ke rumah sakit ini kok, kak. Cuma aku pergi ke poli jantung bukan poli jiwa"

"Ah begitu.. Pantas saja kamu tidak asing di mata saya" setelah mendengar perkataannya aku menjadi merasa bahwa ia benar benar pasien reguler disini, dan ia benar benar punya cukup waktu untuk memperhatikan setiap orang yang datang dan pergi.

"Berat, ya, kak?"

"Hm?"

"Tidak, maksudku, pasti berat buat kakak harus sesering itu kesini dan konsultasi ke psikiater. Aku saja harus memberanikan diri semalaman untuk pergi kesini. Kakak hebat banget" ucapku sambil mengayunkan kakiku.

"Hahaha, kamu lucu sekali. Tentu berat, tapi harus tetap dijalani bukan?" ia akhirnya berbicara sambil menoleh kepadaku.

"Hehehe, benar"

"Kamu orang pertama yang bicara hal seperti itu kepada saya, dan membuat senyum saya kembali ke asalnya setelah sekian lama. Terima kasih ya" senyumnya melebar, dan itu sangat cantik di wajahnya. Aku mengangguk lagi karena tidak tahu harus membalasnya dengan apa.

"Omong omong kenalkan nama saya-" belum sempat ia menyebutkan namanya, aku telah duluan dipanggil untuk mengambil hasil diagnosaku.

"Ravenna Resyakilla dari poli jiwa"

"Ah maaf kak, semoga kita bertemu lagi ya, terima kasih kakak baik!" aku berlari kecil menuju salah satu suster yang memanggilku dan mengambil surat yang dibungkus rapi oleh amplop itu.

Aku segera berjalan keluar rumah sakit setelah melambaikan tangan kearah kakak tadi. Aku sangat terfokus pada surat ditanganku sampai aku tidak melihat jalan saat berjalan menuju luar rumah sakit, dan akibatnya aku menabrak seseorang yang lebih tinggi dariku.

Ravenna || Sejeong X Doyoung [END]Where stories live. Discover now