Part 3

116 22 2
                                    

2.a

Happy Reading

Kalau ada kesalahan penulisan dan semacamnya, Jangan lupa comment ya.

Diharapkan kripik dan santan-nya

.

.

.

"Farras ngapain disini sendiri? Di gangguin jin baru tau."

Teguran Sisi mengejutkan Farras yang tengah melamun menatap ikan di kolam kecil sudut rumah Fay. Setelah acara makan-makan selesai, Fay dan orang-orang penting yang ia undang mulai berbincang-bincang kecil, termasuk kepala sekolah dan beberapa guru yang diundang. Sementara sepuluh siswa termasuk Farras dan Sisi juga saling mengobrol sebelum mereka diantarkan pulang dengan mobil pribadi Fay.

"Iya, Sisi tuh yang jadi jin-nya. Ngapain gangguin kemesraan Farras sama ikan-ikan ini?"

"Ih, dasar. Kalaupun Sisi jadi jin, Sisi akan jadi Jin tercantik se-alam ghaib."

"Iya deh. Farras percaya."

"Iya dong. Ini ngapain Farras ngeliatin ikan? Mending gabung, teman-teman yang lain lagi ngomongin lanjut SMA kemana tuh."

"Nggak ah, ngomong sama ikan lebih seru. Cuma lewat tatapan dan gerakan tangan aja udah, cukup. Kami saling memahami."

Awalnya Farras ikut bergabung bersama keempat teman perempuannya, mereka membicarakan bingkisan yang diberikan Fay tadi, lalu segera beralih ke topik lainnya. Sedangkan lima teman laki-lakinya duduk dalam satu lingkaran berbeda tidak jauh dari meja Farras duduk, sesekali terdengar mereka sedang bicara tentang SMA yang akan dimasuki, sampai pada rencana untuk mendaki gunung.

Farras tidak banyak bicara, ia lebih suka mendengarkan bila topik pembicaraan tidak terlalu diminati. Sebenarnya ia juga tidak paham ketika Sisi, Fatmi, Melly, dan Naira mulai membicarakan tentang alat make up dan sejenisnya. Jadi perlahan ia mundur dan melangkah ke tepian kolam ikan dan berbahagia sendiri disana. Tapi itu hanya sebentar, Farras kembali merasakan tatapan Fay yang teduh sekaligus tajam, lurus padanya. Ia merasa tidak bebas saat geraknya seolah diikuti oleh pandangan Fay.

Padahal ini adalah acara yang dibuatnya, tapi Fay tampak seperti hanya memberi perhatian penuh pada Farras. Sejak tadi Farras merasakan itu, tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa, dan memang tidak ada yang bisa dilakukan. Orang-orang disini larut dalam pembicaraan mereka, tidak ada yang memperhatikan. Farras sendiri kebingungan, apakah ini sesuatu yang patut dicemaskannya atau tidak. Ayolah, itu hanya tatapan. Siapa yang akan peduli bila Farras mengadu bahwa ia sedikit tidak nyaman saat Fay menatapnya?

"Jadi Farras tetap lanjut di SMA tetangga?"

Sisi kembali menanyakan hal yang sudah ditanyakannya beberapa kali. Farras tidak minat lagi meyakinkan Sisi tentang pilihannya.

"Iya, Farras mau di Media Bangsa aja. Nggak minat yang lain."

"Nggak mau bareng Sisi di Cendikia?"

"Kalau Sisi masih berat pisah sekolah sama Farras, Sisi aja deh yang di Media Bangsa."

"Yeeee, Sisi nggak mau menurunkan kualitas."

"Emangnya kualitas SMA Media Bangsa kenapa?"

"Nggak papa sih. Tapi kan lebih tinggi akreditasinya Cendikia daripada Media Bangsa."

Farras hanya tertawa menanggapi, ia merasa tidak perlu lagi menjawab argument Sisi.

Untung saja Niko datang dan mengajak Sisi bicara. Setelah beberapa menit hanya mendengarkan Sisi dan Niko berdiskusi tentang junior OSIS mereka, Farras merasa ia butuh ke kamar kecil, akhirnya ia berbisik kecil pada Sisi,

"Sisi, Farras mau pipis dulu ya."

Sisi hanya mengangguk sekilas menanggapi Farras, ia tengah seru-serunya membahas kebobrokan OSIS dalam kepengurusan adik kelas dengan Niko.

Farras berjalan ke arah kamar mandi setelah bertanya pada pelayan yang melewatinya. Ia sempat melirik ke tempat Fay duduk sebelumnya, tapi tidak ada Fay disana. Farras sedikit lega, langkahnya ringan karena tidak berada dalam pengawasan mata Fay.

Ia menghabiskan beberapa saat dikamar mandi, Farras juga merapikan hijab yang dipakainya. Udara malam yang cukup dingin membuat Farras memutuskan untuk memasang kembali hoodie yang sempat dilepasnya sebelum masuk ke rumah Fay tadi.

Ketika hendak kembali, Farras melewati jalan yang sama. Namun yang berbeda adalah adanya seekor kucing tengah berjalan santai didepannya. Farras terkesima ketika melihat mata biru kucing tersebut, bulu putihnya juga tampak halus dan lembut, ekornya melambai dengan anggun. Sebenarnya Farras bukan pecinta kucing, tapi ia merasa jatuh hati melihat kemolekan si kucing.

"Kucingnya albino ya? Putih semua, cantiiiik."

Farras bergumam gemas. Ia terus mengikuti kucing tersebut, ia tidak sadar entah dibawa kemana. Entah sudah berapa kali berbelok, yang pasti sekarang ia kehilangan jejaknya. Padahal Farras belum menyentuhnya, kalau tahu begitu lebih baik Farras mengejarnya saja tadi.

Setelah memperhatikan sekitar, Farras sadar ia tersesat sekarang. Ia sedang berada di sebuah lorong pendek, tapi bahkan ia lupa harus ke depan atau ke belakang untuk kembali saking fokusnya melihat si kucing.

"Eh, gimana ini? Farras lewat kemana? Tadi Farras sempat putar badan, terus kucingnya hilang. Kayaknya Farras ke belakang lagi deh."
Akhirnya Farras berbalik dan melangkah.

Namun ketika hendak berbelok diujung lorong, Farras tidak sengaja terjungkal kakinya sendiri. Tangannya secara tidak sengaja terantuk dengan keras pada beberapa buku di rak, hingga menekan tombol yang tersembunyi dibaliknya.

Tiba-tiba saja, rak buku di depannya bergetar dan perlahan terbuka, memperlihatkan ruang rahasia di dalamnya. Mengabaikan rasa sakit ditangan kanannya, Farras segera berdiri dengan rasa takjub,

"Kok bisa? Waaa, keren."

Dengan rasa penasarannya, Farras akhirnya tertarik dengan lorong remang-remang yang memancarkan cahaya ini. Dia meraba-raba dengan hati-hati ke tempat cahaya itu memancar, itu tidak cukup jauh. Di depan ada sebuah ruangan dengan pintu yang setengah terbuka.

"Hah??!!"

Farras hampir berteriak ketika dia melihat seorang wanita dengan tangan dan kaki terikat di tempat tidur. Suaranya tercekik, ini membuat Farras benar-benar terkejut, ia tidak menyangka dengan apa yang dilihatnya.

To Be Continued...

.

.

.

Penasaran kelanjutannya?

Thank's for Reading...

INNOCENT DAUGHTEROù les histoires vivent. Découvrez maintenant