"Hmm, enak." Ana mengacungkan jempolnya padaku.

"Kamu kelaperan ya, Sayang." Kuusap bumbu rendang sapi yang mengotori ujung bibirnya. Aku selalu menikmati momen kecil kebersamaan kami.

Ana mengangguk dengan kedua pipi yang menggembung. Bersemangat ia mengunyahnya, mungkin memang sudah sangat lapar. "Enak karena disuapin Tante dokter lagi." ucapnya setelah menelan semuanya. Senyumnya menggodaku ingin mencubit pipinya lagi. Tidak, aku harus menahannya karena dia sedang makan.

Aku balas tersenyum, aku tidak akan menolak jika setiap hari bisa menyuapinya. "Ayo aak lagi." Kusodorkan sendok yang sudah terisi dengan potongan daging. Saat kutanyai tadi dia ingin makan dengan lauk apa, dia hanya menunjuk rendang daging sapi. Dia selalu menggeleng kala kutawari lauk yang lain.

Ana selesai makan. Perutnya terlihat lebih besar dari sebelumnya. Kuberi ia air mineral dalam gelas kemasan. Ana lalu menengadahkan kedua tangan, dia berdoa seusai makan. "Pinternya Ana ...." Aku memujinya sambil mengusap lelehan keringat yang membasahi dahi. Sejauh pengamatanku, Ana memang mudah berkeringat.

"Wah, ini calon mama baru Ana, ya."

Aku menoleh, datang segerombolan ibu-ibu yang memakai kebaya seragam. Yang kutahu pasti, mereka adalah saudara Tante Lis. Tidak ada saudara dari Almarhum ayahnya, kata Lintang, keluarganya sudah putus kontak dengan kakek dan nenek dari pihak sang ayah tak lama setelah beliau meninggal.

"Kok Dean nggak ngenalin ke kita ...."

"Namanya siapa?" tanya seorang perempuan bertubuh ramping dan masih muda dari yang lainnya. Kutaksir usianya tak jauh dariku.

"Dian, Kak." jawabku lirih sambil berdiri. Sungkan jika hanya aku yang duduk di antara mereka.

"Wah cocok. Dean sama Dian." seru perempuan yang lain. Sanggulnya bulat, pas sekali dengan wajahnya yang juga bulat. Sementara yang lain malah bertepuk tangan.

"Kenalkan, kami ini Budhenya Dean. Kalau yang ini sepupunya." sahut satu yang lain, sanggulnya juga bulat, tapi wajahnya agak lebih tirus. Dia menunjuk perempuan yang paling muda saat mengucap kata sepupu. Mereka lalu menyalamiku, satu per satu mencium pipi kanan dan kiri seolah mengakrabkan diri. 

"Saya temannya Lintang, Tante." Aku tersenyum canggung. Kukatakan yang sejujurnya kepada mereka sebelum kesalahpahaman ini makin berbuntut panjang.

Sejenak mereka terbengong. "Oh, Budhe kirain calonnya Dean. Lha ini Ana dari tadi nempel banget sama Mbaknya." seru seorang wanita yang bertubuh agak gempal. Wajahnya mirip sekali dengan Tante Lis.

Bingung harus menjawab apa. Kuberikan senyum kecil saja. Aku memang ingin jadi ibunya Ana, tapi tidak mungkin jika kujawab jujur pada mereka. Mukaku mau ditaruh di mana. Ember pun pasti akan menolak jika aku mengatakan keinginanku yang sebenarnya.

"Jangan diambil hati."

Kuangkat kepalaku. Menoleh ke samping kiri tempat Ana duduk tadi yang kini sudah diduduki oleh bapaknya. Anak itu sudah tidak ada. Hilang bersama Budhe-budhe tadi sepertinya. Aku pun kembali duduk. Di atas pelaminan, sepasang pengantin masih berfoto.

"Mereka emang suka bercanda."

Kak Dean melanjutkan ucapannya, tanpa menoleh sedikit pun kepadaku. Sakit sekali rasanya. Padahal, dulu dia tidak pernah bersikap sedingin ini padaku. Pasang matanya selalu berbinar ketika berhadapan denganku. Ya, dulu dan sekarang memang sudah jauh berbeda.

"Kenapa emangnya? Apa aku nggak cocok kalau jadi mamanya Ana? Apa aku harus jadi janda dulu supaya bisa jadi ibunya?" tanyaku berani dengan sedikit penyesalan dalam diri. Sesak di dada lebih mendominasi daripada akal sehatku sendiri.

Kak Dean menoleh padaku, hanya sebentar dan ia kembali menatap lurus ke depan. 

"Aku suka sama Kak Dean. Aku pengen jadi ibunya Ana" Sudah kepalang basah, lebih baik sekalian menceburkan diri saja. Biarlah jika nanti kak Dean akan menganggapku tak tahu malu. Toh ucapanku yang tadi juga tak bisa kutarik lagi. "Aku pernah baca novel. Katanya, jodoh itu nggak jauh-jauh dari temen. Kalau bukan temen itu sendiri, bisa jadi kakaknya temen atau malah temennya kakak." Aku menatapnya, menunggu respon darinya. Bahunya nampak naik turun dengan ritme teratur cenderung cepat. Apa dia sedang menahan emosi? Apa dia marah karena aku menyatakan cinta?

Kak Dean beranjak berdiri. Diam sejenak sebelum berbalik memandangku. Pun sangat sebentar dan kemudian pergi menjauhiku. Aku menunduk, setetes air mataku turun. Panas, buram, sesak dan sakit memenuhi rongga dada. Mengapa dia mengabaikanku? Apa ini artinya aku sudah ditolak? 

___________

Menangis, hanya itu yang bisa kulakukan kini. Aku malu. pun menyesali ucapanku yang terlalu berani pada kak Dean. Tadi aku langsung pulang, berbohong kepada Lintang jika aku tak enak badan. Dia mengijinkanku pulang sembari minta maaf karena sudah memaksaku menemaninya sedari pagi. Ini bukan salahnya, ini adalah salahku sendiri.

Salahku yang tak tahu malu menyatakan cinta kepada kakaknya.

Salahku yang tak tahu diri ingin menjadi ibunya Ana.

Salahku yang tidak bisa mengontrol perasaanku sendiri.

Salahku yang dulu sudah menolaknya.

Semua ini... adalah kesalahanku.

Bersambung.

Uwooooww Dian 🙈
Bisa-bisanya ngomong begitu ke Dean 🤐

Komen sebanyak-banyaknya di bab ini. Vote-nya jangan lupa juga, tembus 350 aku langsung up bab selanjutnya 🤗🤗

Sekelumit RinduWhere stories live. Discover now