2. Nathaniel Erlangga

Start from the beginning
                                    

"Ah, kamu enggak keberatan buat nunggu bentar, Nad?" Mama bertanya. "Niel harusnya bentar lagi udah sampai. Kamu ketemu dia dulu, baru habis itu istirahat ke kamar."

Aku tersenyum canggung, mengangguk.

Mama mengangguk-angguk, tampak senang. "Ayo, duduk dulu!" katanya lagi seraya menarik lenganku dan duduk di salah satu sofa.

Aku turut duduk di sisinya. Agak mengambil jarak. Awalnya, reaksi itu membuat Mama sempat menatapku sejenak. Tampak heran. Namun, setelahnya, dia biasa saja. Senyumnya tidak kunjung luntur.

Hening. Ada jeda yang mengisi kekosongan. Baik aku maupun Mama sama-sama tidak ada yang bicara. Melalui sudut mata, kulihat Mama tengah berkutat dengan ponsel di tangan. Ekspresinya terlihat serius. Terdengar beberapa decakan kecil meluncur dari sela bibirnya.

Jujur saja, suasana ini canggung. Banget.

Aku, pada dasarnya, bukan orang yang suka memantik obrolan pada orang yang baru kukenal. Aku mungkin bagus untuk urusan merespons pembicaraan, tapi tidak dengan mencari topik percakapan.

"Nad?" Tiba-tiba saja, Mama bersuara.

"Ya?"

Ada jeda sebentar. Mama terlihat ragu-ragu untuk melanjutkan. Bibirnya terkatup. Ketika kulihat bibir yang dipulas lipstik merah muda itu seperti ingin mengatakan sesuatu, gerakan itu terpotong denting bel. Dari arah luar. Menandakan seseorang datang.

Mendengarnya, aku berdiri. Refleks yang sama seperti saat aku mendengar pintu rumahku diketuk. Rumahku yang asli, tentu saja. Secara teknis kan rumah ini bukanlah tempat tinggal asliku.

"Nad, mau ke mana?" Mama menahan lenganku.

Giliran aku yang menatap Mama bingung. "Ada yang datang, Ma."

"Biar Mama aja," kata Mama. Suaranya tegas. "Kamu duduk." Mama mendorong bahuku dengan lembut. Isyarat jelas agar aku mendengar ucapannya. Tanpa menunggu persetujuanku, Mama sudah memelesat menuju pintu utama.

Selagi Mama pergi, aku dengan cepat meneliti sekitar. Jelas sekali kalau rumah ini memang mewah. Furniturnya tampak mahal dan berkelas. Begitu aku menoleh ke belakang, bisa kulihat ada dua tangga yang terhubung ke lantai dua. Dan, aku rasa, lantai dua bukanlah satu-satunya lantai paling atas di rumah ini.

"Nada?"

Suara laki-laki. Terdengar dalam. Khas cowok.

Aku menoleh. Orang pertama yang aku kenali adalah Mama. Di sebelah kanan Mama, berdiri seorang cowok seumuranku. Tampan, itu kesan pertama. Tinggi. Berkulit putih bersih—sebelas dua belas dengan tone kulitku sekarang ini. Tatapanku lantas beralih ke kedua belah tangannya yang menenteng beberapa kantung belanja.

"Nad, ini Niel," kata Mama seraya menepuk bahu cowok tersebut. "Kalau kamu perlu sesuatu, bisa panggil dia. Kamar kalian sebelahan. Ada di lantai tiga."

Nah kan?

Mendengarnya, aku mengiakan. Pandanganku beralih kepada Niel. Sebisa mungkin, aku mengangkat sudut bibir senatural mungkin. "Hai."

Niel tidak langsung menjawab. Matanya lurus menatapku. Setelah beberapa detik, barulah dia merespons. "Mmm."

Mmm? Aku mengernyit. Dia ini sakit gigi atau apa?

"Ah iya, Nad." Mama menyadarkanku. "Kamu istirahat dulu, gih. Biar Niel yang ngantar kamu. Papa barusan manggil Mama. Ada yang urgen, katanya. Enggak masalah, 'kan?"

Aku menggeleng. "Enggak masalah, Ma."

"Bagus." Mama tersenyum lebar. "Kalau gitu, Mama pergi dulu, ya?" Mama maju satu langkah. Bisa kurasakan dia mencium pucuk kepalaku dengan lembut. Setelahnya Mama berbalik dan pergi begitu saja.

Just Like Magic [ON HOLD]Where stories live. Discover now