Ilana terdiam, mengarahkan mata ke dinding kamar seraya memainkan jemarinya gelisah.

"Jadi ibu berat, Na. Kamu juga kuliah sekarang. Kalau kamu nggak matang mikirnya, Mama nggak akan kasih izin, sekali pun orangnya Atlan. Resikonya berat. Mama nggak mau di kemudian hari kamu menyesalinya."

"Iya, Ma."

"Mama tanya, Ana memangnya menaruh hati sama Atlan?" tanya Puspita, berhasil membuat Ilana menggigit bibir dalamnya.

Pipi Ilana merona ditanyai begitu. "Hm-hm," gumamnya nyaris tak terdengar.

"Ngaku juga akhirnya, 'kan?" Puspita berdecak lidah beberapa kali sebelum kembali melanjutkan perkataannya. "Ingat, Na. Pernikahan itu bukan cuma menyatukan dua kepala. Tapi juga dua kepribadian. Kalian bareng dari kecil, tentu Ana sudah tahu semua baik buruknya Atlan, 'kan? Apa Ana bisa terima semuanya?"

"Ana terima Kean apa adanya kok, Ma. InsyaaAllah Ana ikhlas bantuin Kean jagain Ben."

Puspita mendesah panjang. Sambungan telepon hening beberapa saat. "Tunggu sebentar, ya. Mama harus bicarakan hal ini sama Papa. Papamu tadi ke warung, belum balik. Nanti mama telepon lagi."

Ilana mendesah sembari bergumam. "Ya udah, Ma ..."

Panggilan terputus. Ilana menghitung menit-menit dengan gelisah. Entahlah, ia tidak tahu apa yang akan dikatakan kedua orang tuanya setelah ini. Yang jelas, ada ketakutan dari raut wajahnya. Gadis itu menggigit jari, terus menatap ke layar ponsel, berharap sang ibu meneleponnya lagi.

Satu jam menunggu, ponsel tersebut kembali berdering. Perut Ilana mulas detik itu juga. Tangannya bergetar. Berulangkali ia menarik napas sebelum menjawab panggilan tersebut dengan pasrah.

"Dek, Mama sudah bicara sama Papa. Kata Papa, kalau Atlan serius sama kamu, suruh dia minta kamu ke kami. InsyaaAllah kami ke Jakarta besok pagi."

Mata Ilana penuh kabut. Cairan bening menetes dari sudut pelupuknya. Ia bahkan kehilangan kata-kata untuk menjawab ucapan Puspita barusan. Lemas. Tenaganya hilang bersamaan dengan ponsel yang jatuh dari telinga.

***

Atlan menggigit jari seraya menunggu kabar dari Ilana. Pagi ini, Endah dan Sutrisno pulang ke Solo. Sesuai perkataan mereka waktu itu, mereka akan membawa Ben. Barang-barang Ben sudah dikemasi sejak semalam. Hal itu membuat Atlan begitu tertekan.

Ingin sekali Atlan menghubungi Ilana, memohon agar gadis itu mau menikah dengannya. Namun, Ilana yang tidak menunjukkan ketertarikan membuat Atlan takut memaksakan kehendak. Ia hanya menatap Ben yang sedari tadi menangis rewel dalam gendongan Endah tanpa bisa berbuat apa-apa.

"Budhe ..." lirih Atlan dengan wajah memelas.

"Opo?" jawab Endah jutek. "Aduh, Ben diem, dong. Eyang kesusahan gendongnya iki lho." Endah menepuk-nepuk paha Ben saat tangis bayi itu semakin kencang.

"Jangan bawa ... Ben," suara Atlan terdengar serak. Ia menahan air mata, hanya bisa melihat keponakannya tanpa berbuat apa-apa.

"Sudah dibahas beberapa kali, 'kan? Ndak yo ndak. Kita sudah sepakat jika kamu ndak bawa calon hari ini, yo Ben kami bawa. Jadi terima saja. Ben kami rawat dengean sepenuh hati. Kamu kuliahnya yang rajin biar bisa cepat dapat kerja, yo!"

"Pupu ... anan pegi Pupuuu!" Tangis Ben semakin kencang. Ingus yang menetes dari lubang hidungnya bahkan tertelan melalui sela bibir. Ia menangis sesegukan sembari terus memandangi Atlan.

"Bubu ...." lirih Atlan memandangi wajah sedih Ben.

"Ayo, Bu. Grab-nya sudah di bawah. Nanti kita telat ke Bandara." Sutrisno keluar dari kamar Meira yang ditempatinya seminggu ini sembari menyeret koper.

BENUA ATLANADove le storie prendono vita. Scoprilo ora