BAB 9 : TARUNA/i

Mulai dari awal
                                    

—Naira tahu.

Demi Tuhan. Dari sekian manusia bernyawa yang mengenal laki-laki ini lebih lama darinya, mengapa harus dirinya? Dan mengapa harus dirinya yang mengerti apa arti kekosongan mata yang sungguh samar itu? Mengapa harus Naira? Ia tidak benar-benar tahu penyebab dari kekosongan itu, tetapi intinya—

dia sedang tidak baik-baik saja.

"NAIRA, MINTA NOMER WA!!"

***

"Kok ngedadak banget, Pak?"

"Haduh, saya ndak tau juga. Dan ini pun gak ada kalah menangnya, ada perwakilan lima SMA di Yogya yang bakal ikut tampil, dan Bayundra masuk ke salah satunya." Sialan, nasib menjadi murid Pak Hameng yang paling keren memang tak selalu menyenangkan.

Beberapa menit lalu Pak Hameng tiba-tiba masuk ke dalam kelasnya dan meminta izin kepada guru yang sedang mengajar untuk menculik-maksudnya memanggil Banda dan membawanya ke ruang kesenian untuk membicarakan soal ini. Ya, padahal tempo waktu baru saja Bayundra membawa pulang piala dari pentas seni antar SMA Yogyakarta kemarin, tetapi lagi dan lagi Pak Hameng membawa berita yang mungkin mengharuskan sekumpulan anak tahun terakhir lembur di ruang kesenian kembali.

Ayolah, belum sempat memperbaiki hubungan pertemanannya dengan Gigih serta persaudaraannya dengan Fena, Banda harus kembali menanggung tanggung jawab atas teman-teman satu ekskulnya? Memikirkannya saja sudah membuat Banda ingin pergi dari Yogya. "Bisa gak kalo saya gak usah ikut?" Hingga kalimat itu keluar dari mulutnya.

"Heh, Banda, terus opo gunanya saya ngasih tau kamu soal ini? Ya biar kamu ikut lah!" Pak Hameng berdecak. Gak ngerti-ngerti bocah satu ini rupanya.

"Ada Etel sama Nami juga, 'kan? Gak selalu harus saya?" Banda masih bersikukuh menolak. Lagi pula, jika ingin menyampaikan berita besar seperti ini, seharusnya Pak Hameng memanggil semua anak di ekskul gamelan, bukan? Mengapa yang dipanggil hanya Banda saja?

"Tapi mereka belum tentu bekerja sebaik kamu."

"Wah, Bapak meragukan teman saya. Lagian saya juga aneh loh, ini kan kerjanya sendiri-sendiri, main alatnya juga sendiri-sendiri, kenapa seolah saya yang jadi dirigennya?"

"Ya karena emang kamu pemimpinnya, Uban Kayana!" Lagi dan lagi panggilan itu. Sudah tidak heran bahkan jika guru paling jauh dengan Banda menyebutnya begitu, apalagi Pak Hameng. "Wis, gini aja, kamu pertimbangkan dulu, mau ikut apa enggak. Tapi ingat, baik dan buruknya citra SMA Bayu Candra di pentas seni nanti ada di tangan kamu. Pilihan kamu cuma dua. Ikut dan mengharumkan nama baik sekolah, atau tidak ikut dan membiarkan tikus-tikus itu bermain tanpa arahan dan keluar dari nada."

Baiklah, situasinya sudah mulai mencekam kala Pak Hameng mulai mengangkat telunjuknya di pertengahan kalimat. Dua tetes keringat dingin mulai meluncur dari sumbernya, membasahi pelipis Banda. Sialan, kalimat dan nada bicara itu lagi. Jika kalian ingin tahu, begitulah cara Pak Hameng membujuk setiap muridnya yang hendak absen dari setiap penampilan maupun perlombaan di luar sekolah. Tidak heran, tetapi yang satu ini memang dikhususkan pada Banda.

"Kok diem? Pergi dari ruangan saya!" Dasar, sudah mengancam malah mengusir pula. Banda pun akhirnya beranjak dan angkat kaki dari ruangan itu. Satu demi satu balok besar seolah menghantam kedua bahunya, dan jumlahnya kini sudah empat. Padahal usianya masih jauh dari kata dewasa, namun mengapa semua beban ini kian menghantuinya?

Dan untuk saat ini kakinya menolak untuk pergi kembali ke kelas, lantas berbelok menuju jalur lain yang umumnya jarang terjamah oleh siswa-siswi Bayundra bahkan guru yang mengajar sekalipun. Di sana berdiri sebuah tangga yang menjulang tinggi sampai ke atap sekolah-biasanya digunakan oleh mereka yang hendak menambal sesuatu yang bocor di atas sana, ataupun sekadar mengecat ulang tembok yang sudah mengelupas catnya-dan, hei, berapa IQ pemuda itu sampai dirinya nekat memanjat tangga tersebut bermodalkan dua tangan dan kaki?

BandaNeiraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang