BAB 1 : UBAN(DA)

99 14 5
                                    

Alunan musik gamelan Jawa menghiasi indra pendengaran semua insan yang tengah berada di ruang kesenian

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Alunan musik gamelan Jawa menghiasi indra pendengaran semua insan yang tengah berada di ruang kesenian. Pandangan juga tak pernah lepas dari alat yang menjadi tanggung jawabnya, warna kuning keemasan sontak menyilaukan mata sebab pantulan cahaya matahari yang masuk lewat jendela dan pintu utama. SMA Bayu Candra yang terletak di wilayah strategis Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi saksi dari usaha sepuluh remaja berseragam putih abu itu dalam menampilkan passion-nya di pentas seni antar sekolah kemarin.

Bilah gambang dengan ukuran berbeda yang saling berurutan itu dipukul menggunakan dua buah tongkat yang ujungnya berbentuk bulat serta dibungkus dengan kain oleh pemuda berpakaian rapi. Sebutan Niyaga acap kali dilontarkan padanya, satu dua kali dirinya merasa risih disebut seperti itu. Merasa sebutan itu hanya diperuntukan pada mereka yang sudah profesional memainkan gamelan. Padahal tidak ada hubungannya.

“Hari ini saya mau membagikan sertifikat penghargaan bagi mereka yang mengikuti lomba pentas seni antar SMA di Yogyakarta Kamis kemarin. Bagi yang merasa disebut namanya, silakan maju ke depan,” ungkap pria paruh baya dengan udeng bercorak batik yang terikat di kepalanya, kedua tangannya membawa sepuluh sertifikat yang diperuntukan pada sepuluh siswa.

“Kigara Nawang Danurdara,” panggilnya. Seorang laki-laki berkulit sawo matang pun menghampiri. “Wasta Nami Jeniang,” lanjutnya. Perempuan berambut panjang sebahu menerima sertifikat itu sambil melemparkan senyuman. “Uban Kayana.”

“Ubanda, Pak! Da-nya jangan dilewat,” protes yang namanya salah disebut, menatap sengit mereka yang secara spontan mengeluarkan gelak tawa tatkala Pak Hameng memanggilnya Uban. Bukan hanya Pak Hameng, semua orang memanggilnya demikian meski sudah tahu Banda tidak menyukai panggilan itu. Cukup Banda saja, apa susahnya?

“Ciri khas,” balas Pak Hameng singkat, melemparkan seringaian ke arah Banda, membuatnya mendengus kesal.

“Saya teh kadang suka bingung loh, Ban, kenapa kamu bisa sekolah di Bayundra,” celetuk salah seorang pria yang tadi sudah keluar lebih dulu, ia merangkul bahu Banda dengan akrab. Menyingkat nama SMA Bayu Candra menjadi Bayundra. Mereka sudah keluar dari Ruang Kesenian dan hendak menuju ke parkiran.

“Kenapa, Tel?”

“Soalnya kamu harusnya ada di rambut nenek saya.” Gelak tawa lagi-lagi menghiasi gendang telinga Banda, arahnya masih sama, mengejeknya. Kini tawa itu keluar dari mulut Etel dan Nami—dua sahabat seperjuangannya.

Laki-laki yang nama lengkapnya sekeren Kigara Nawang Danurdara itu rupanya lebih memilih dipanggil Etel. Katanya, teman-temannya dulu di Bandung memanggilnya begitu karena warna kulit Etel yang dulu mirip pantat katel atau wajan. Sehingga munculah panggilan itu.

Oh, ya, Etel sebenarnya lahir dan tinggal di Bandung untuk waktu yang lama. Tidak sampai akhirnya sang mama yang memiliki keluarga di Yogyakarta memutuskan untuk pindah ke sini.

“Lo juga, Nam! Gak mau belain gue gitu?” adu Banda pada gadis bernama lengkap Wasta Nami Jeniang dengan tatapan sengit. Yang kerap disapa dengan nama Nami itu hanya memajukan bibirnya, balas mengejek Banda.

BandaNeiraWhere stories live. Discover now