BAB 7 : TERKA

54 7 20
                                    

Seperti menahan seru di balik sembunyi dari serigala dengan napas menderu-deru

ओह! यह छवि हमारे सामग्री दिशानिर्देशों का पालन नहीं करती है। प्रकाशन जारी रखने के लिए, कृपया इसे हटा दें या कोई भिन्न छवि अपलोड करें।

Seperti menahan seru di balik sembunyi dari serigala dengan napas menderu-deru. Seperti terkurung bersama bom waktu yang waktunya belum tentu dan bisa meledak kapan pun ia mau. Seperti sugesti yang sudah pasti meski hanya muncul dari dalam diri. Seperti wanodya yang kali ini mengurung diri dalam ruang sunyi sembari mewanti-wanti diri sendiri, bertemankan kaus putih yang sudah menempel di kaki.

Dan ketika dua pemberi spekulasi dan opini dalam dirinya sudah searah, maka raganya tak akan bisa ke mana-mana. Alur yang tidak jelas ke mana tujuannya itu sudah tergambar jelas dalam benak. Surga atau neraka yang mereka sebut sekolah kelak mungkin tidak lagi menjadi tempatnya menebar pesona. Sebab topeng itu sudah dihapus sedikit demi sedikit dan alasannya sungguh sederhana—karena topengnya digambar dengan pensil, bukan tinta permanen.

Belum mengendap dan masih menempel di dinding hati. Definisi belum mencoba tetapi sudah menyerah. Panggilan telepon sudah puluhan kali dideringkan ponselnya, dan hanya ada satu orang yang berani menelepon gadis itu lebih dari dua puluh kali.

“Naira Alhena! Lo kebo atau apa? Udah jam tujuh dan lo masih ada di kamar?!” Tak perlu dijawab lagi siapa pemilik vokal di balik pintu kamarnya. Sebab tidak ada seorang pun teman dari dua gender itu yang diperbolehkan menggeledah kamar Naira selain Himalia dan Sara.

Dan yang bisa Naira lakukan saat ini hanyalah mendengus kesal seraya bangkit dari duduk. Mengusap wajah kasar yang masih terdapat sisa-sisa air mata yang tak sengaja luruh tempo detik. Mengenakan sepatu sekolahnya yang sedari tadi sudah terdiam bisu di sudut kamar. Menepuk wajah dengan busa pipih yang ditaburi bedak. Memutar knop pintu yang tadinya menjadi sesuatu yang Naira tidak ingin lakukan, dan ingin membuktikan kepada semesta—

“Eh, Lia. Maaf, tadi aku lagi sibuk nyari kaos kaki yang kemarin gak sengaja aku lempar sembarangan. Yaudah, mending berangkat sekarang, yuk! Nanti keburu Pak Suryo kena tipuan manis kita lagi.”

—bahwa topengnya belum benar-benar terhapus

***

Langkah berat selayaknya kaki patah yang dipaksa bergerak; selayaknya memasuki medan perang dengan segala prajurit bersenjata dan granat yang siap menghantam; dan selayaknya meninggalkan rumah untuk yang tak menampakkan arah pulang.

Kendati pada kenyataannya, setiap hari seolah kembar isinya. Sama saja, tidak ada yang berubah. Bahkan untuk hari ini. Tidak ada sang benalu, hama, atau manusia kurang ajar apapun itu yang menghapus topeng kepunyaannya. Atau pun yang menemukan sang asli di balik topeng itu.

Tidak ada.

“Betulan batal atau diungkap perlahan supaya semakin meledak?” Tanda tanya besar muncul di benak Naira. 

Kebiasaan para adam di Bayundra, memberi siulan serta dehaman setiap kali kaki dua gadis itu berpijak di areanya. Tidak sedikit bahkan yang terang-terangan mengajak berkenalan dan meminta nomer telepon sekaligus ID Line. Dan itu semua sudah lazim untuk siswa-siswi Bayundra. Artinya, tidak ada perubahan besar-besaran yang dilakukan pemuda bernama Ubanda Kayana tersebut.

BandaNeiraजहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें