BAB 9 : TARUNA/i

46 7 1
                                    

listen to the song!

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

listen to the song!

~~~

"Gue kemarin ketemu Recaka."

Selayaknya kilatan yang kini nampak di bumantara, penuturan taruna dengan daksa tercekal ini menyambar penuh yang di dalam Fena. Seolah berita hangat itu mampu meredakan emosi kalbu; seolah vokal berat darinya ialah resolusi dan jawaban dari semua tanya; seolah—

"Lo ketemu sama Recaka?" Vokal Fena masih pelan tetapi kian menanjak, "Gue tanya, lo ketemu sama Recaka?!"

—seolah rangkaian kata itu bisa membuat mereka berhenti bicara tentang masa lalu.

"Telinga lo katarak, Fen? Gak usah drama seakan lo yang paling tersakiti lah." Sungguh, jika situasi dan suasana cukup ramah, mungkin dua monyet di sebelah Banda akan menyuarakan gelak tawa paling kencangnya kali ini. "Di angkot. Dan lo udah tau reaksinya."

Tolong, jangan katakan itu.

"Takut."

Sialan.

"Trauma."

Bajingan.

"Gak ada yang bisa kita lakuin buat bikin Recaka kayak dulu lagi, orangnya aja takut sama kita." Tangan Fena yang semula mencengkeram bahu Banda kala menerka tadi mulai berkurang tenaganya dan kian terlepas. Indra itu akhirnya kembali ke tempat semula, di sisi pinggang.

Fena selesai. Benar-benar selesai.

"Jadi mending lo sekarang ambil kunci motor dan jaket lo, pergi ke huthomah itu, dan jemput STNK sialan lo."

***

Selayaknya perdebatan tanpa hasil, pro dan kontra saling mempertahankan argumen masing-masing, menggambarkan silat lidah depan rumah yang terjadi tempo waktu antara Banda dan Fena. Sebenarnya jika ditilik kembali, antaranya dan Fena begitu berat sebelah. Banda yang tiada henti menyuarakan argumen, dengan Fena yang kian diam tak berkutik, menerima semua ujaran super ketus dari adiknya setelah sebelumnya vokalnya yang berteriak paling kencang.

Selepas mengatakan kalimat terakhirnya, Banda segera masuk ke dalam rumah diikuti Nami dan Etel. Bahkan setelah dua monyet itu pulang ke rumahnya, keduanya masih enggan memulai dialog. Fena tetap tak bisa menyangkal pernyataan Banda, sebab semua yang keluar dari mulut laki-laki itu memanglah fakta.

Dan dampak dari bahasan sensitif kemarin juga sampai ke hari ini, di mana kebiasaan aneh para adam di Bayundra tak terdengar oleh telinga Banda; tak terlihat oleh pandangan Banda; serta tak mengganggu tekanan darahnya pagi ini yang biasanya naik tak beralasan. Air mukanya sungguh berbeda dari Ubanda Kayana di hari-hari sebelumnya, tetapi saking buramnya hal tersebut sampai tak ada yang menyadari perubahan itu. Namun—

Langkahnya terhalang oleh kerumunan aneh itu, tubuh Banda berusaha menyingkirkan orang-orang gila yang sungguh enggan membuka mata, selalu melihat keluar hingga buta akan yang di dalam. Dan tentu langkahnya akan sampai di mana pemeran utama di Bayundra yang berusaha berlindung di balik tubuh Himalia dari riuhnya insan yang bersikukuh minta nomer telepon.

BandaNeiraWhere stories live. Discover now