"Lalu di mana kakakku?" tanya Nea.
"Dia sudah mati," balas Elen.
"Ah?"
Anak itu terkejut mendengar ucapan Elen, matanya bahkan mulai berkaca-kaca dan perlahan mulai meneteskan air matanya.
Ah, sepertinya kalimat yang kupilih kurang tepat. batin Elen.
Adik Vito seketika menangis sembari menutup wajahnya. Tentu saja, bukan kalimat itu yang ingin ia dengar. Ia hanya berharap kakaknya bisa pulang dengan selamat. Tetapi nyatanya ....
Melihat itu, Elen berusaha memikirkan sesuatu untuk membuat anak itu berhenti menangis. "Apa kau tak penasaran dengan ekpresi terakhir kakakmu?" ucap Elen.
"Apa kakakku menyebutku? Apa dia tersenyum saat menyebut namaku?" tanya Nea.
Elen membungkuk dan perlahan melipat satu kakinya layaknya akan berlutut di depan adik Vito, sembari menatap ke dalam mata anak itu. "Dia tersenyum. Dia bahkan bercerita banyak tentangmu. Dia sepertinya sangat menyayangimu," ucap Elen.
"Dia memang kakak terbaik bagiku. Tapi ..., tapi ...."
"Kakakmu berakhir dengan jalan yang ia telah pilih. Jalan itu membuatnya lebih tenang, dan berakhir dengan mengukir senyuman diwajahnya. Kakakmu adalah orang yang hebat. Kau harus bangga padanya. Dia-, tidak, tanpa kakakmu, rekan kami tak akan kembali dengan selamat. Dia benar-benar siswa yang luar biasa. Kau harus berdoa agar ia mendapat tempat terbaik di surga," ucap Elen yang berusaha menghibur gadis tersebut.
Gadis itu kembali menutup wajah dengan kedua tangannya. Ia mulai menangis hingga tersedu-sedu di depan Elen. Sementara Elen, malah menatapnya sampai kebingungan.
Eh? Apa kalimat yang kuucapkan sedikit berlebihan? Tapi ..., tangisan seperti ini, aku pernah melihatnya. Tangisan yang diperlihatkan ketika mereka dekat dengan seseorang yang meninggalkannya. Ekpresi dan perasaan mereka saat kehilangan seseorang yang mereka sayangi. Aku mulai memahaminya.
Dari jauh, seorang pria paru baya terdiam dengan tubuh gemetar. Menatap Elen dari balik tirai kamar. Kedua bibirnya mulai bergetar, air matanya perlahan menetes.
"Tinggalkan aku sendiri."
"Baik."
Setelah semua bodyguardnya keluar, ia terduduk di sebuah kursi yang berhadapan langsung dengan sebuah perapian. Menatap sebuah foto yang terpajang diatas tungku tersebut.
"Kau tak akan pulang ya. Kau tak akan lagi berkunjung dan berdiri di depan pagar rumah? Kau tak akan bertengkar lagi denganku? Dan ..., dan ...."
Pria itu menutup wajahnya dan mulai menangis.
"Bikin iri! Aku juga ingin terlihat keren seperti ayah. Aku juga ingin berdiri di depan semua orang seperti ayah. Menurut ayah, apa aku bisa berdiri di depan semua orang seperti ayah? Apa aku bisa memegang putihnya awan seperti ayah? Suatu hari, suatu hari nanti akan aku tunjukan, Ayah!" ingat ayah Vito tentang Vito semasa kecilnya. Ia mengepal tangannya erat.
Dengan penuh semangat, Vito selalu memuji ayahnya, dan selalu berkata jika ia ingin menjadi seperti ayahnya. "Aku ingin dipanggil "ayah" ribuan kali olehnya. Aku ingin dia kembali. Aku ingin dia pulang dan berdiri dihadapanku. Aku ingin dia terus hidup dan tumbuh besar dihadapanku. Aku ingin menua dan melihatnya berdiri di depanku seperti keinginannya. Padahal itu adalah harapanku," ucap pria paru baya itu sembari mengusap air matanya. Perlahan ayah Vito memukul dadanya yang terasa sesak.
Dari jauh, sekretaris hingga bodyguard yang tengah memantau, seketika menunduk dan ikut menangis.
"Tuan muda."
YOU ARE READING
Bad & Crazy School (Terbit)
Mystery / ThrillerOLD VERSION!! CERITA INI ADALAH CERITA SURVIVAL, DAN SUDAH BERISI SEASON 1, 2 DAN 3 [High School Of The Elite] Eleanor, seorang anak dari tahanan khusus yang memiliki masa lalu kelam akan kekalahannya dalam uji coba pelatihan wajib milter. Setelah m...
{BC-35} • • • - -/• • • • •
Start from the beginning
