19. Bertemu

27.5K 4.1K 96
                                    

Jam sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Kanya sudah bangun dari tidurnya. Ini hari Minggu, tapi banyak yang harus ia kerjakan. Seperti sekarang ini, Kanya sedang membantu Bunda Vanya untuk memasak sarapan.

Bunda Vanya rutin memasak sarapan setiap hari untuk mereka berdua. Karena itulah walaupun setiap harinya ia selalu bekerja, Kanya tetap merasakan kehangatan seorang ibu darinya.

"Bunda masih marah loh, kemarin kamu bener-bener pulang telat," rajuk Bunda Vanya, bibirnya mengerucut. Tangannya dengan lincah bergerak mengiris bawang.

"Ah, maaf Bunn. Aku kan udah ngabarin," ujar Kanya. Kedua tangannya menyatu, memohon untuk dimaafkan.

"Ngabarin sih ngabarin, tapi gak ngasih tahu ke mana. Bunda telepon gak diangkat-angkat," omel Vanya. Ekspresi cemberut masih menempel di wajahnya.

Kanya tersenyum lebar. Bunda Vanya benar-benar khawatir. Ia merasa bersalah, tapi setelah ini juga ia akan memberitahu semuanya. Sebenarnya Kanya khawatir jika Bunda Vanya harus terseret ke dalam masalah yang akan ia timbulkan, tapi Kanya tidak ingin menyembunyikan apapun. Bunda Vanya berhak tahu yang sebenarnya.

"Bunda, Kanya mau nanya."

Tepat setelah keduanya menghabiskan sarapan, Kanya menyelutuk. Karena ini salah satu kesempatan baginya untuk mengenal Bunda Vanya lebih lanjut. Kanya ingin tahu bagaimana masa lalu Bunda Vanya dan apa yang ia rasakan dari mulutnya sendiri.

"Kenapa sayang?" tanya Bunda Vanya, menopang dagu dengan kedua tangannya di atas meja makan.

"Kenapa Bunda bisa nikah sama Ayah?"

Pertanyaan blak-blakkan itu membuat Bunda Vanya tersentak. Ia membuka mulutnya, tapi tidak berhasil mengeluarkan suara karena tidak tahu harus menjawab apa. Kanya, putrinya itu, sudah lama tidak membicarakan soal sang Ayah kepadanya seperti ini.

Vanya mewajari hal itu. Karena rasanya Kanya lebih membenci Darel, suami Vanya, lebih dari dirinya. Luka yang Vanya alami, secara tak sengaja ikut melukai Kanya juga. Dan itu terjadi di saat usianya masih sangat muda.

"Kalau Bunda gak mau ngomongin soal Ayah, gapapa kok. Gak perlu dijawab. Maaf Kanya tiba-tiba nanya begini."

Kanya langsung merasa tak enak ketika raut wajah Bundanya itu tampak tidak nyaman. Mungkinkah sang Bunda masih belum bisa memulihkan luka yang ia alami sepenuhnya?

Vanya tersenyum. Tangannya terulur untuk mengelus tangan Kanya yang berada di atas meja.

"Bunda udah gapapa. Cuma kaget aja kamu tiba-tiba nanya soal pernikahan Bunda," kekeh Vanya.

Kanya lega. Ia sangat bersyukur jika benar begitu adanya. Tapi ada perasaan sesak ketika melihat senyuman itu. Laki-laki brengsek seperti Ayahnya memang sangat tidak pantas untuk bersama Bunda Vanya.

"Habisnya Bunda terlalu sempurna buat Ayah. Kanya gak ngerti apa yang dilirik Bunda dari Ayah." Kanya berkata jujur apa adanya. Wanita menawan seperti sang Bunda terlalu sayang jika disia-siakan pada sang Ayah.

"Ahh kamu lebay banget mujinya. Masa iya Bunda sempurna." Vanya tertawa kecil.

"Apa tadi? Kenapa Bunda nikah sama Ayah kamu, ya? Hmm, sama kayak orang-orang lain deh. Kita berdua pertama ketemu di kampus tempat kita kuliah di luar negeri. Terus pacaran, dan nikah."

Oke, itu lebih normal dari yang Kanya bayangkan. Bukannya Kanya berekspektasi ada kejadian drama sekolah dulu, ya.

"Ayah kamu ganteng tahu, apalagi waktu masih muda. Mungkin Karel sekarang mirip banget sama Ayahmu ya?" tutur Vanya. Keterdiamannya setelah itu membuat Kanya tahu bahwa ia sedang memikirkan tentang Karel.

EXTRA'S HELP #TRANSMIGRASIWhere stories live. Discover now