14. Maaf

33K 5.2K 145
                                    

Karel menatap pantulan dirinya di cermin. Ia sudah berpakaian rapi dan formal, untuk hadir di pesta perjamuan malam ini.

Walaupun Karel sama sekali tidak ingin hadir di tengah suasana hatinya yang sedang buruk ini, ia tetap harus melakukannya. Bahkan jika ia kabur sekarang, Ayahnya hanya akan menariknya dengan paksa ke pesta itu.

Karel tersenyum miris. Belakangan ini ia hanya memikirkan Kanya, dan Kanya. Mungkin semenjak kejadian Kanya menampar Adrien itulah, Karel mulai berpikir banyak tentang Kanya. Dan keluarganya.

Karel dan Kanya tidak pernah saling menyapa di sekolah sebelumnya. Karel beralasan untuk selalu mengikuti perkataan sang Ayah, sementara Kanya entah tidak peduli atau sudah sangat membencinya.

Terkadang Karel sekilas melihat kehadiran Kanya di sekolah, mereka bahkan seringkali tidak sengaja bertatapan. Namun setelah itu, Kanya memalingkan wajahnya seolah mereka tidak mengenal satu sama lain.

"Karel..."

"Karel, lo ikut gue sama Bunda kan?"

Karel mengerang. Memegang wajahnya sendiri dengan frustrasi.

Saat itu, pertama kali dalam hidupnya, Kanya menatapnya dengan pandangan memohon. Kanya yang selalu bersikap acuh dengan sekitarnya. Kanya yang tidak pernah menunjukkan kelemahannya. Kanya yang selalu menjadi kebanggaan keluarganya.

Karel belum dewasa pada saat itu. Ia hanya seorang bocah SMP yang belum tahu apa yang akan terjadi ketika ia memilih untuk tetap bersama sang Ayah, yang sudah menghancurkan keluarga mereka.

Sudah pasti. Kanya kecewa besar.

Selain itu, Karel juga selalu ikut serta ketika Adrien dan teman-temannya yang lain menindas Aubrey hanya untuk membela Isabella. Suatu kebodohan baginya.

Karel tahu Kanya tidak pernah tertarik akan masalah mereka. Namun, untuk pertama kalinya Karel sadar ia salah. Kanya sampai menampar Adrien seperti itu hanya untuk membela Aubrey, mengingatkannya akan ketika Kanya berdiri di depan sang Bunda yang mendapat kekerasan dari suaminya sendiri.

"Den Karel, sudah waktunya berangkat."

Karel tersadar dari lamunannya. Ia menatap pantulan dirinya di cermin untuk terakhir kali, sebelum berbalik pergi.

Sebelum keluar dari kamarnya, Karel mengecek ponselnya untuk mengetahui apakah ada pesan masuk.

Benar saja. Ada beberapa pesan di grupchatnya dengan teman-temannya. Saat ia buka, ternyata mereka sedang meributkan siapa yang akan menjemput Isabella hari ini.

Karel mengernyit. Bukankah biasanya juga Adrien yang melakukannya?

Ia hendak mengetik sesuatu, namun telepon dari Ryan menghentikannya.

"Halo?"

"Rel, lu aja yang jemput Isabel gimana?"

"Hah? Emang Adrien kenapa?"

"Ada lah. Nanti gua kasih tahu. Tolong, ya?"

Karel mengernyit bingung. Ada apa yang terjadi selama ia tidak ada?
"Kenapa gak Javas atau Noah aja?"

Terdapat sedikit jeda sebelum Ryan kembali membalas. "Begini... Sebenernya pas kemarin lu gak ikut ngumpul, kita ngomongin soal Aubrey dan Isabel."

"Terus?"

"Adrien sama Javas ribut. Detailnya nanti aja. Pokoknya sekarang Adrien gak bakal jemput Isabel. Dia bakal jemput Aubrey."

Karel mengerjap tidak percaya. Kemudian ia menghela napasnya, sedikit menangkap apa yang sudah terjadi.

"Cowok goblok satu itu..."

EXTRA'S HELP #TRANSMIGRASIWhere stories live. Discover now