11. Gustava

37.1K 5.3K 338
                                    

Karel mengendarai motornya memasuki pekarangan rumah keluarganya. Rumah yang bisa disebut sebagai mansion itu benar-benar membuatnya muak.

Rumah yang terlalu besar untuk ditempati oleh dua anggota keluarga. Sudah beberapa tahun sejak rumah itu kehilangan suasana hidupnya. Hanya keheningan dan ketidaknyamanan yang tersisa.

Setelah memarkirkan motornya di garasi, Karel melangkahkan kakinya memasuki rumah.

Sangat sepi. Suara pintu yang Karel buka, sampai bergema memenuhi seisi rumah.

"Pulang juga kamu?"

Langkah Karel terhenti. Di hadapannya saat ini adalah sang Ayah, Darel Darmawan Gustava. Kepala keluarga Gustava terkini. Dan... sumber dari perpecahan keluarganya sendiri.

"Cuma mau ngambil baju," balas Karel, dengan nada datar. Menunjukkan bahwa dia tidak tertarik untuk memulai percakapan dengan sang Ayah.

"Ayah gak izinin."

Mendengar itu, Karel yang semula sudah berbalik hendak berjalan menuju kamarnya, kembali menghentikan langkah kakinya.

"Kenapa?" Karel mengernyit kesal.

"Gak peduli seberapa akrab kamu sama teman kamu, jangan lupa kalau rumah kamu itu di sini." Darel melayangkan tatapan tajam pada anaknya.

"Rumah? Rumah Karel udah runtuh, sejak Bunda sama Kanya pergi dari sini," ujar Karel sinis.

Darel tidak bergeming. Baginya ucapan Karel hanya rengekan anak kecil yang tidak mau berpisah dengan Ibunya.

"Gimana keadaan Kanya?"

Karel berdecih. "Hah.. Bisa-bisanya Ayah masih nanyain keadaan Kanya? Ayah masih berharap Kanya bakal kembali ke sini?"

"Kanya pasti kembali. Dia putri Ayah."

Karel menggeleng. "Bukan. Dia putri Bunda."

Darel menggertakkan giginya. Tidak senang dengan perkataan Karel barusan. Sebenarnya, dia tidak senang dengan disebutkannya sang istri dalam kondisi apapun.

"Terserah. Ayah gak akan izinin kamu pergi hari ini. Jangan buat orang lain berpikir kondisi keluarga kita buruk."

"Loh, bukannya emang benar?"

"Karel Keanadra Gustava!"

"Yah, biar Karel kasih tahu satu hal." Karel menatap lurus mata sang Ayah, dengan tatapan tegas dan yakin.

"Kanya gak akan pernah mau kembali ke sini. Setelah semua yang Ayah lakuin, Kanya bahkan gak akan pernah maafin Ayah."

Mata Darel memicing tajam. "Kanya anak yang cerdas. Dia tahu mana yang terbaik buat dia."

"Iya. Kanya tahu mana yang terbaik buat dia. Jelas Kanya lebih milih hidup bebas dan bahagia di samping Bunda, dibanding hidup sebagai orang dengan kekuasaan tapi sengsara di samping Ayah."

"Karel! Jaga ucapan kamu!" Suara Darel meninggi. Tidak habis pikir dengan ucapan sang anak barusan. Sengsara katanya? Semua bisa dimiliki jika berada dalam garis keturunan Gustava. Apanya yang sengsara?

"Mau dikasih tahu berapa kali pun, Ayah gak akan paham," desis Karel. Sebelum beranjak pergi, ia menyampaikan pesan terakhir.

"Asal Ayah tahu, Karel juga mungkin gak akan selamanya ada di samping Ayah."

Setelah itu, Karel melangkah menuju kamarnya tanpa memperdulikan bentakan nyaring yang keluar dari mulut sang Ayah.

Sepeninggalan Karel, Darel menghela napasnya panjang. Walaupun tampak seperti tidak peduli dengan apa yang dikatakan Karel barusan, tapi Darel sebenarnya sangat memikirkannya.

EXTRA'S HELP #TRANSMIGRASIWhere stories live. Discover now