24 - Kembang Api Itu Menyedihkan

28 11 4
                                    

Setelah kepergian Kak Ara, ternyata tidak semudah yang kami bayangkan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Setelah kepergian Kak Ara, ternyata tidak semudah yang kami bayangkan. Latihan terasa sepi dan sangat berbeda dari sebelumnya. Tak ada sosok yang benar-benar mengawasi dan memberi kami arahan. Lingga yang dijadikan ketua pun terkadang fokus dengan permainannya sendiri, sehingga tak sempat memperhatikan yang lainnya.

Rai mulai malas-malasan. Beberapa kali ia tidak ikut latihan, sempat aku dan Aurel membantu Lingga untuk menasihati anak itu. Tapi tetap saja ia tak berubah. Situasi di dalam tim ini mulai tak terkendali.

Entah kenapa semangat kami sewaktu di lapangan balai kota sudah hilang. Seakan dibawa pergi oleh Kak Ara yang meninggalkan kami. Tim ini kehilangan nyawanya.

Sampai akhirnya, saat ujian tiba kami memutuskan untuk menghentikan kegiatan yang berhubungan dengan marching band dan lebih fokus untuk menghadapi ujian semester. Kami benar-benar tak punya waktu. Setelah ujian pun, libur panjang tiba. Tim marching band jadi semakin jarang bertemu apalagi berkumpul.

Ada momen unik ketika kami sedang libur panjang. Yaitu saat tahun baru tiba, aku dan Lingga berjanji untuk menyalakan kembang api bersama.

Malam itu, ia datang sendiri ke rumahku. Menyapa kedua orang tuaku sembari menungguku di luar.

"Tante, aku izin ajak Nawang ke luar ya," ucap Lingga saat meminta izin kepada Ibuku layaknya laki-laki yang mengajak perempuannya ke luar. Di sini, aku merasa spesial. Dengan senyum di wajahnya, Ibu mengizinkanku pergi.

Sekitar jam sebelas malam, aku dan Lingga berjalan menuju tengah lapangan desa yang berada dekat dengan sawah. Sepanjang perjalanan pun, sudah ada beberapa kembang api yang meledak menerangi langit malam.

Kami belok arah melewati jalan setapak kecil di sisi sawah yang gelap ditambah nyanyian para jangkrik di sekitar. Hanya beberapa meter, kami pun sampai di lapangan tujuan. Di sana sudah ramai oleh warga dan juga pedagang makanan yang memanfaatkan keramaian tahun baru.

Aku bersama Lingga berjalan sambil melihat-lihat sekitar. Menatap tenda-tenda para pedagang malam. Di atas sana, asap bekas kembang api terlihat melayang tertiup angin. Banyak sekali anak-anak di sini, lalu juga bau makanan yang tercium menggoda.

"Ini kok jadi kaya festival ya?" tanyaku.

"Iya, rame banget."

"Kita mau nyalain kembang api di mana?"

Lingga melihat sekitar, lalu matanya tertuju pada suatu tempat. "Sana aja!" katanya sambil menunjuk tempat yang agak tinggi dan sepi dari keramaian. Aku pun menurut dan ikut bersamanya ke tempat itu. Kami juga tak lupa membeli dua gelas minuman dingin di salah satu stan minuman.

Sesampainya tempat pilihan, Lingga menancapkan kembang api itu dan mengarahkannya ke atas. Beberapa anak kecil mengikuti kami untuk ikut melihat kembang api milik kami. Aku berdiri beberapa meter di belakangnya sambil melihat.

"Saatnya punya Lingga meluncur!" ucap Lingga.

"Punya kita!" Aku memprotes.

"Eh iya, hehe. Punya Lingga dan Nawang!"

Last Year (TAMAT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang