18 - Acha dan Symbal-nya

30 12 3
                                    

Akhirnya, sesuai dengan kesepakatan waktu itu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Akhirnya, sesuai dengan kesepakatan waktu itu. Latihan pun ditambah menjadi hari Selasa. Sepulang sekolah, aku berjalan menuju aula untuk kembali berlatih bersama tim marching band. Kemarin malam, aku sudah berlatih dan menghafal nada. Kupastikan permainanku kali ini akan membaik.

Kak Ara sudah siap di dalam aula bersama yang lainnya. Semua tampak serius membuat barisan di tengah aula ini, tak ada yang berani mengobrol atau bercanda.

Tanpa basa-basi, kami membawa alat musik masing-masing. Bilah-bilah besi kecil marching bell sudah terpasang di bawah dadaku dan siap untuk kumainkan.

Aku melirik Anin dan Acha yang sudah bersiap dengan symbal-nya. Di depanku ada Rai dan Lingga dengan drumnya, lalu pemain alat musik tiup mengapit pemain drum. Di paling depan, Aurel bersiap dengan tongkat mayoretnya.

“Ingat! Penampilan udah gak lama lagi. Waktu kita singkat, latihan sebaik mungkin. Kakak mau lihat perkembangan kalian. Dan untuk kelas tiga, setelah ini kalian akan fokus dengan ujian. Jadi persiapkan penampilan terakhir sebaik mungkin. Paham?” kata Kak Ara dengan suara keras.

“Paham!”

“Semangat!”

Aurel mulai memutar-mutar tongkat mayoretnya, mulutnya berhitung tiga sampai satu. Saat hitungan ke satu, kami mulai memainkan alat musik masing-masing.

Suara dari instrumen kami menciptakan melodi yang indah dan padu. Terdengar menggema di tengah aula yang sepi ini.

Aku terus memukul bilah-bilah besi itu mengikuti ketukan dan nada yang dimainkan. Aku yakin, permainanku sudah bagus. Tapi ada yang aneh, aku bisa merasakannya. Pemain symbal sepertinya beberapa kali salah ketukan. Acha, ada apa dengannya? Sesekali kulihat Anin menatap kesal ke arah anak itu.

“Stop!” Kak Ara menghentikan permainan.

“Yang bener dong!” kata Anin kepada Acha.

Adik kelas yang malang itu pun menunduk sambil mengangguk. “Iya, Kak. Maaf!”

“Acha, masih semangat, kan?” tanya Kak Ara.

“Masih, Kak,” jawab Acha.

“Mulai dari awal ya."

Musik pun dimulai dari awal. Aku terus fokus, melakukan yang terbaik supaya tidak seperti Acha yang kena marah Anin. Ya, permainanku membaik. Bagus teruskan, melodinya semakin enak didengar. Ketukan semakin cepat, tapi aku bisa mengimbangi. Terutama suara snare Lingga. Dia jadi penentu tempo kami.

Acha kembali melakukan kesalahan, ketukannya sudah benar. Tapi suara symbal-nya terlalu lemah. Satu kali masih dibiarkan, tapi kedua dan ketiga kalinya ia terus membuat kesalahan. Aku lihat Kak Ara sudah menggeleng-geleng kepala. Tapi kami terus bermain sampai lagu selesai.

“Acha, kamu gak semangat ya?” tanya Kak Ara saat lagu sudah selesai.

“Semangat, kok!"

“Enggak, semangat itu gak kaya tadi. Beda lho, kamu gak kaya biasanya. Kenapa sih? Mau pulang? Capek? Keberatan kita latihan dua kali? Ngomong aja, kita di sini latihan buat anak-anak yang niat aja. Kalo gak niat mending pulang,” kata Kak Ara dengan nada kesal. “Semuanya latihan sendiri ya, lima belas menit Kakak balik lagi. Kita mulai lagi.” Kak Ara kemudian pergi dari aula meninggalkan kami.

Last Year (TAMAT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang