23 - Hari Perpisahan

29 11 1
                                    

Setelah upacara selesai, tangisan kami berlanjut di ruang marching band

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Setelah upacara selesai, tangisan kami berlanjut di ruang marching band. Kak Ara duduk di kursinya, dan kami semua berdiri mengelilingi Kak Ara sambil memprotes keputusannya yang sangat mendadak.

Dadaku terasa sesak, meski belum lama mengenal sosok senior ini. Tapi aku merasa amat kehilangan apabila dia pergi. Entah sudah berapa kali aku mengusap air mata di pipi ini.

Sesekali air mata menetes dari mata Kak Ara, tapi segera ia hapus lagi. Ia tampak tak ingin menunjukkan kesedihan di depan adik-adiknya. Menegaskan bahwa inilah keputusan yang ia harus ambil.

"Kakak, kenapa?" tanya Aurel sambil menangis merengek, wajah gadis itu sudah amat basah dengan air matanya sendiri.

"Kak Ara bosan ya sama kita?" tanya Rai. "Kita janji bakal rajin latihan," tambahnya.

"Kakak marah ya sama kita? Maaf kalo kita susah diajarinnya," sahut Acha sambil sesegukan.

"Bukan begitu, kalian baik-baik kok. Kakak sayang sama kalian."

"Terus kenapa, Kak?" tanyaku sambil mengelap air mata.

"Ya Kakak emang harus pergi. Ada mimpi yang harus Kakak raih di luar sana, Kakak harus ambil keputusan berat ini dan keluar dari zona nyaman. Suatu hari kalian akan ngerti kok sama keputusan Kakak ini," tutur Kak Ara menjelaskan.

"Apa bayaran di sekolah ini kurang ya, Kak?" tanya Rai dengan polosnya.

Kak Ara tertawa kecil meski matanya berkaca-kaca. "Ya ampun, gak begitu. Kakak ngajarin kalian ikhlas, gak pernah mikir berapa uang yang Kakak dapat. Berapa pun bayarannya, Kakak tetep latih kalian."

"Bener-bener gak bisa ubah pikiran, Kak?" tanya Lingga.

Kak Ara menggeleng. "Maaf ya, Lingga. Kakak udah buat keputusan ini sejak lama, jadi maaf Kakak harus pergi."

"Kakak!" Kami semua lalu kembali memeluk Kak Ara bersama-sama.
Ia lalu menatap Lingga yang berdiri di depannya. "Untuk sementara, sampai sekolah rekrut pelatih baru tahun depan. Lingga yang jadi ketua gantiin Kakak ya," kata Kak Ara.

"Aku? Kenapa aku, Kak?" tanya Lingga.

"Karena kalau Rai, terlalu labil dan gak bisa dipercaya. Kalau Aurel, terlalu lembut, gak bisa marah. Anin? Terlalu cuek, gampang emosi. Nawang masih baru bergabung. Jadi, kamu yang cocok. Gak apa-apa, kan?"

Sambil memeluk Kak Ara bersama yang lainnya, aku menatap Lingga. Dia memang pantas diberi tanggung jawab ini. Dia kuat dan tegas, bahkan di antara kami cuma Lingga yang tidak menangis. Aku percaya dia bisa menjadi ketua yang baik.

"Iya." Lingga mengangguk dan menerima tanggung jawab dari Kak Ara.

Kemudian, bel masuk berbunyi. Kak Ara menyuruh kami untuk kembali ke kelas dan mengikuti pelajaran yang ada. Bersama Lingga, aku berjalan kembali ke kelas. Kami tidak saling bicara, mataku masih sembab akibat menangis. Sementara Lingga, dia biasa saja. Tapi aku yakin di dalam hatinya, ia pun sedih. Ketimbang aku, jelas Lingga sudah lebih lama mengenal Kak Ara.

Last Year (TAMAT) Where stories live. Discover now