BAB IX : DUNIA INI BUKAN SURGA

20 4 1
                                    

"Sudah melihat daftar nilai ujian semester ini?" tanya Anhar sambil berjalan di koridor menuju ruang kelas. "Sudah dipasang di papan pengumuman."

"Sudah," kataku.

"Bagaimana hasilnya?"

"Tidak mengecewakan. Aku berada di urutan 15 dari 27 murid di kelas A."

"Baru kali ini aku melihatmu tidak murung ketika tidak mendapat tiga besar di kelas." Anhar mendorongku sambil tertawa. "Biasanya ketika kamu mendapat peringkat di bawah tiga, kamu tidak mau bicara apa-apa."

"Keadaannya beda sekarang. Aku tidak punya motivasi apapun untuk menjadi yang terbaik. Padahal kukira aku sudah jadi yang paling bodoh di kelas, nyatanya aku masih berada di urutan 15."

Dia merangkul pundakku. Wajahnya mendekat ke arahku lalu berbisik, "siapa yang ada di tiga besar?"

"Peringkat 1 Devi, peringkat 2 Yanni, peringkat 3 Tika."

"Bukankah Yanni sering bolos sekolah?" Anhar bertanya dengan heran.

"Tapi dia bisa mengejar nilai siswa-siswi lain."

"Luar biasa anak itu. Tapi, nilai kedisipilinan harusnya mengurangi nilai akademinya."

"Tanyakan saja pada pihak yang berwenang."

"Bagaimana dengan Fida si Lintah? Dia peringkat berapa?"

"Aku tidak peduli dengannya. Tapi aku tidak sengaja melihatnya tadi. Dia di urutan 20."

"Dia masih bukan siapa-siapa ternyata meski sikapnya menyebalkan."

"Jangan pedulikan dia. Mau mati pun, jangan pedulikan," kataku sambil tertawa.

Aku manaruh tasku di bangku pojok dan Anhar mengikutku sampai ke dalam ruang kelas. Di dalamnya, geng Ketus tengah bergibah termasuk Yanni. Sekilas perempuan itu melirikku sambil tersenyum tipis, dan kubalas juga dengan senyuman. Sebenarnya aku ingin mengatakan "selamat sudah mendapat peringkat dua", tapi aku mengurungkan niatku karena di dekatnya ada Ummi dan Gea.

Samar-samar kudengar Gea membicarakanku. "Anak bodoh itu ternyata masih sanggup mendapat peringkat 15."

"Aku juga tidak menyangka," sambung Ummi.

"Dia tidak sebodoh yang kalian kira," ujar Yanni.

Gea tertawa, lalu bertanya, "kenapa kamu jadi membelanya?"

Tidak ada kata-kata lagi dari mereka. Sepertinya Yanni hanya tersenyum melirikku. Tapi kemudian aku dan Anhar keluar dari ruang kelas.

Kami pergi ke atap sekolah seperti biasanya, memandangi suasana sekolah dari tempat tertinggi di lingkungan sekitar.

"Aku kemarin melihat Yanni bertengkar dengan laki-laki di pinggie Jembatan Sambungnyawa. Dia menangis," kataku, ketika kami berdua baru saja duduk di pinggir atap gedung sekolah.

"Lalu?"

"Laki-laki itu meninggalkannya, lalu aku menghampiri Yanni."

"Apa yang terjadi padanya?"

"Entahlah. Tapi dia terlihat sangat sedih. Katanya dia tidak betah di rumah karena orang tuanya sering bertengkar."

"Ada masalah apa dengan laki-laki yang meninggalkannya?"

"Aku tidak tahu."

"Lalu kamu menghiburnya?"

"Aku mengajaknya makan di warung."

"Jangan-jangan sekarang kamu mulai menyukai Yanni. Apakah ini cara pendekatanmu?" Anhar tertawa meledek.

"Aku hanya bersimpati. Mungkin selama ini dia menderita."

AKU INGIN MATI TERSENYUMOnde as histórias ganham vida. Descobre agora