BAB VII : CATATAN HARAPAN

21 3 2
                                    

"An, harapan apa yang ingin kamu tulis di mading ini?" tanyaku, sembari menatap mading di depan kami.

Dia mengambil sebuah kertas, lalu menulis "aku ingin tetap hidup sampai ujian semester ini berakhir, lalu merasakan kebahagiaan yang lebih dari yang kuharapkan". Dia menempelkan catatan itu ke mading. "Itu dia," ucapnya. "Kamu?"

"Aku ingin mendapat nilai dan kebahagiaan yang kuharapkan. Aku menantikan hari libur panjang. Kita akan pergi ke pantai bersama."

"Pasanglah di mading itu," perintahnya.

Setiap menjelang ujian semester, sekolah menyediakan sebuah papan mading umum untuk semua pelajar. Murid-murid bebas menuliskan harapan-harapan apa yang ingin mereka tulis menjelang ujian semester yang akan berlangsung.

Biasanya kelas 1 adalah orang-orang yang paling antusias mengenai ini. Kadang mengantri. Sementara kelas 3 sudah bosan mendengar papan-papan mading harapan. Sebagian kecewa karena harapan-harapan mereka ternyata ditepis oleh realita. Daripada menulis di papan mading harapan, mereka lebih menunggu-nunggu Papan Mading Pencapaian dan Kekecewaan yang akan dipasang ketika menjelang hari libur setelah nilai ujian diumumkan.

"Lihat kata-kata itu?" tunjuk Anhar. Ada sebuah ucapan "Aku akan menghilang dari dunia jika tidak mendapat peringkat satu", itu adalah salah satu kata-kata harapan yang tertempel di mading.

"Orang ini sangat berambisi," kataku.

"Apa dia benar-benar akan menghilang dari dunia?"

"Itu hanya bualan saja. Atau hanya bentuk dari metafora, hiperbola, dan lain-lain."

"Kata-kata 'menghilang dari dunia' seperti berarti dia ingin bunuh diri."

"Tak perlu dipikirkan. Kata-kata seperti itu sudah biasa kita lihat setiap ada mading harapan," ujarku. "Lihat ini! 'Aku ingin pergi ke bulan atau matahari jika ujian semester sudah selesai', banyak orang yang menulis harapan-harapan konyol di mading ini."

"Jika itu bukan lelucon, Bulan diartikan sebagai Surga dan Matahari diartikan sebagai Neraka."

"Semuanya adalah neraka," kataku. "Di Bulan tidak ada oksigen."

"Ngomong-ngomong, siapa anak terpintar di kelas A?"

"Semuanya pintar kecuali aku," ujarku sambil tertawa. "Tapi.... Yanni, Tika, dan Devi. Prediksiku, mereka ada di tiga besar."

"Salah satu dari mereka akan berakhir di bulan," kata Anhar, lalu ia berlari ke arah kelas karena bell masuk berbunyi.

***

Bagi pelajar pintar, ujian sekolah adalah masa-masa paling menyibukan. Belajar, belajar, dan belajar adalah pekerjaan yang memakan banyak waktu ketika ujian sedang dilakukan. Bagi pelajar yang lebih pintar dari yang pintar, mereka memanfaatkan waktu untuk belajar jauh-jauh hari sebelum hari H. Namun bagi murid-murid pemalas, semua hari adalah sama, mereka hanya memikirkan bagaimana cara mencontek sekalipun kisi-kisi sudah diberikan oleh guru. Kupikir mereka tidak bodoh, tidak ada murid yang bodoh, mereka hanya malas.

Ketika jam istirahat, tidak ada waktu untuk anak-anak pintar pergi ke kantin. Mereka sibuk membaca buku, menghafalkan jawaban kisi-kisi, menutup buku, membuka buku lagi, menutup lagi, membukanya lagi, sambil mulutnya berkomat-kamit mengingat-ingat jawaban kisi-kisi, begitu seterusnya sampai jam ujian kembali dilakukan. Kujamin, ketika mereka melangkah dari pintu gerbang untuk pulang, mereka tidak akan ingat lagi beberapa jawaban yang mereka isi di soal ujian, itu karena memori kita terbatas.

Katika istirahat, anak-anak pemalas pergi ke kantin, beberapa ada yang berlari-lari di koridor untuk mengganggu aktifitas belajar anak-anak pintar, beberapa lagi bergibah di tangga sekolah. Mereka seperti tak ada beban. Lihat pancaran matanya! Tenang, ceria, bahagia. Aku ingin seperti mereka yang tak memikirkan nilai ujian.

AKU INGIN MATI TERSENYUMWhere stories live. Discover now