BAB II : ADA SEORANG GURU

55 5 0
                                    

Aku melihat bermacam-macam guru sejak masa sekolahku. Ada beberapa yang bisa kunikmati cara mengajarnya, namun tanpa meninggalkan rasa hormat, beberapa memang menjengkelkan dan membuatku pusing dengan cara mereka mengajar.

Kurasa menjadi guru tidak sesederhana yang kita lihat. Itu bakan masalah bicara di depan kumpulan bocah atau ramaja. Maksudku adalah, seorang guru harus bisa membuat suasana kelas nyaman, membuat apa yang mereka sampaikan dapat masuk ke dalam otak murid-muridnya, membuat murid-muridnya segan padanya, membuat sebuah keadilan dalam kelas.

Tidak semua orang bisa menjadi guru, karena itu perlu sebuah hati yang besar dan mental yang terlahir sebagai guru, tetapi kadang yang tak berbakat menjadi guru barangkali terjebak dalam sebuah pilihan hidup. Beberapa memang tak seperti guru, hanya bicara seperti seorang pengacara atau tukang pembawa berita. Karena itu aku tak mau menjadi guru, karena aku tak suka bicara.

Ada guru-guru yang menjengkelkan di kelasku. Seperti yang kukatakan, mereka hanya bicara, tapi kata-katanya sulit dicerna oleh murid. Kadang aku ingin bertanya "Kenapa Anda menjadi guru? Kenapa cara mengajar Anda sangat membosankan? Kenapa Anda hanya bicara dan bicara?" Tapi pertanyaan seperti itu tidak sopan untuk ditanyakan kepad guru. Jadi aku pendam saja.

Aku ingin menceritakan salah satu guru yang paling menjengkelkan di sekolah ini. Namanya guru Bu Yanuar, dia adalah guru TIK. Umurnya mungkin kisaran 30 sampai 35 tahun, sebenarnya aku tak peduli masalah umur, hanya saja wajahnya tidak terlalu tua.

Hal yang paling menjengkelkan darinya bukan karena dia seperti pembawa berita. Dia duduk dan diam saat mengajar. Lalu kau tahu kenapa dia diam saat mengajar? Ini benar-benar hal yang paling bodoh yang pernah kulihat selama belajar di sekolah. Dia selalu membawa sebuah vidio meteri yang akan ia sampaikan, lalu dia tunjukan vidio-vidio itu kepada murid-muridnya dengan layar proyektor yang besar. Jadi bukan Bu Yanuar yang mengajar kami, tapi vidio-vidio itu yang mengajar kami, yang mungkin ia ambil dari internet atau apalah. Setelah vidio-vidio selesai diputar, kami akan disuruh langsung mempraktikan langsung sesuai arahan vidio yang baru kami lihat. Menjengkelkan bukan? Bagaimana mungkin kami bisa mempraktikan apa yang dilakukan pada vidio dalam satu kali melihat. Aku selalu merasa gila setiap kali diajar olehnya.

Belakangan aku mendapat nilai terkecil di kelas TIK. Bu Yanuar memperlihatkan semua daftar nilai kelas A dalam sebauh layar proyektor. Orang-orang di kelas itu tertuju ke arah pojok kelas karena aku mendapat nilai terkecil. Beberapa tesenyum, ada yang tertawa kecil, ada yang langsung bergibah. Namun yang patut kusalahkan adalah kenapa Bu Yanuar memperlihatkan nilai terkecilku ke dalam layar proyektor yang bisa dilihat oleh orang-orang sekalas? Apakah dia tak tahu kesehatan mental juga penting daripada hanya memotivasi untuk berkompetisi dalam kelas? Kompetisi dalam kelas? Tai Anjing!

Baru saja aku tak selesai mempraktikan materi-materi bab baru TIK. Sementara yang lain hanya dan dua murid lain yang tak selesai, murid lainnya dapat menuntasakan entah mereka benar atau tidak.

Aku sangat malu. Tapi lagi-lagi yang perlu kusalahlan adalah kenapa Bu Yanuar mengajar kepada murid-muridnya dengan vidio-vidio yang bisa kutonton di internet secara berulang? Aku benar-benar tidak pernah melihat guru mengajar dengan cara seperti itu. Kalaupun ada yang membawa vidio, mereka pasti mengombinasi dengan kata-kata lisan dan penjelasan yang jelas.

"Apa kamu tidak salah masuk kelas?" Namanya Yanni. Ia sangat ketus dan sering bolos sekolah, tapi salah satu yang paling pintar di kelas A. Saat aku dan Anhar pulang sekolah, dia menabrak pundakku lalu berkata demikian.

"Apa maksudmu?" kata Anhar. Matanya menajam, padahal dia tidak tahu masalahnya.

"Aku berkata pada murid bodoh ini," Yanni membalas. Di belakangnya adalah Umy dan Gea. Mereka bertiga adalah geng Ketus.

"Dia tidak bodoh, dia masuk Kelas A." Anhar terus mencerocos mewakiliku, tapi aku diam saja meski menahan emosi.

"Aku hanya tidak suka melihat murid seperti dia di Kelas A. Dia pantas direndahkan. Nilainya bahkan selalu yang paling kecil diantara kami." Yanni terus mengoceh sambil tertawa jahat. Lalu karena tidak ada balasan lagi dari Anhar yang mati kata, geng Ketus itu melanjutkan perjalanan pulangnya.

Aku sempat berpikir, apakah perempuan-perempuan gila itu tak ada hiburan sampai berhenti di tengah jalan untuk menghinaku? Mulut wanita memang seperti itu! Kejam sekali!

"Dia yang tak pantas masuk di Kelas A. Lihat atitudnya seperti berandalan!" ketus Anhar yang juga tertular ketusnya.

"Jangan pedulikan mereka. Mungkin itu sudah jadi kebiasaan mereka. Dia memang gila!"

"Sekali dua kali kamu harus tegas. Kamu tega dengan harga dirimu yang diinjak-injak?"

"Persetan dengan harga diri. Aku hanya tak mau bermasalah."

"Tapi kamu laki-laki Liv."

"Aku tidak peduli."

"Tapi ngomong-ngomong, kenapa orang seperti dia masuk Kelas A."

"Dia pintar, meski sikapnya seperti itu. Jangan menilai dari sampulnya."

"Kurasa di sekolah kita penilaian sikap dan atitud masih dianak tirikan."

"Tidak seorangpun bisa menilai sikap seseorang dengan angka."

"Ya kamu benar." Anhar tertawa kecil.

"Sore ini mau ke tepi sungai?"

"Aku perlu ke rumahmu nanti sore. Aku perlu komputermu untuk menyelesaikan tugas TIK."

"Oke. Padahal aku ingin melukis lagi di tepi sungai. Tapi ya sudahlah."

***

Salah satu guru favoritku pernah berkata bahwa :

"Semua orang dilahirkan dengan cara yang sama, tapi mereka tumbuh dengan cara yang berbeda."

"Tidak ada murid paling pintar, tidak ada murid paling bodoh, yang ada hanyalah murid dengan bakat yang berbeda-beda."

"Di dalam kelas kecerdasan hanyalan samar-samar karena angka berbicara, seberapa kemampuanmu akan terlihat ketika kamu sudah tidak duduk lagi di dalam kelas (dunia kerja)."

"Jalan sukses bukan dari jalur pendidikan, tapi dari kerja kerasmu dan otakmu. Tapi saya tetap berharap Anda bisa melanjutkan pendidikan Anda."

"Guru akan sangat senang jika murid-muridnya nanti akan menjadi orang yang melebihi gurunya."

"Saya hanya ingin mengatakan pada kalian agar kalian bisa menyiapkan mental. Perjuangamu, keluh kesahmu, frustasimu, itu hanyalah secuil dari apa yang akan kamu rasakan ketika kamu berada di dunia nyata(dunia setelah lulus sekolah). Maka nikmati saja selagi masih sekolah."

"Aku tahu, tanpa diberitahu, semua orang pasti ingin bermanfaat bagi sesama, tapi yang paling penting adalah menjadi dirimu sendiri."

"Di sekolah ini jangan tanggung-tanggung. Kalau mau teladan ya teladan sekalian, kalau mau nakal ya nakal sekalian. Saya pernah remaja kaya kalian kok."

AKU INGIN MATI TERSENYUMWhere stories live. Discover now